Esposin, JAKARTA -- Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror menggunakan cara-cara yang digunakan rezim Orde Baru dalam menangkap dan menangani orang-orang yang diduga dan dituduh sebagai teroris. Hal ini terkait banyaknya orang yang meninggal dunia tanpa proses pengadilan sejak dibentuknya Densus.
"Cara-cara Densus 88 seperti Kopkamtib rezim Orde Baru. Sejarah akan mencatat Reformasi masih belum bisa menghargai nyawa warga negara. Itu memalukan bagi Reformasi kita," kata kata Direktur Eksekutif Lingkar Madani (Lima) Ray Rangkuti yang dikutip Esposin dari Antara di Jakarta, Minggu (3/4/2016).
Meskipun data Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyatakan 121 orang meninggal dunia tanpa melalui proses hukum sejak Densus 88 dibentuk, kata Ray, bukan tidak mungkin jumlah yang sebenarnya melebih angka tersebut.
"Angka 121 saja mengerikan dan memalukan. Nyawa-nyawa warga negara hilang diduga oleh aparat negara atau sedang dalam penanganan petugas negara. Bagaimana kita akan menjelaskan kepada generasi selanjutnya?" tuturnya. Baca juga: Tertekan Penolakan Warga Terhadap Otopsi Siyono, Orang Tua Sakit-Sakitan.
Menurut Ray Rangkuti, generasi-generasi selanjutnya bisa saja menanyakan berapa harga nyawa seorang warga negara. Harga nyawa seseorang tentu tidak ternilai. Baca juga: Otopsi Siyono Dimulai.
Namun, entah mengapa, nyawa Siyono yang pulang dalam keadaan tidak bernyawa setelah ditangkap Densus 88 karena diduga seorang teroris dihargai dengan dua gepok uang.
"Dalam kasus Siyono, setidaknya ada tiga hal yang bisa dipertanyakan. Apa dasar seorang terduga teroris ditangkap dan hilang hak-haknya? Apa dasar kematian Siyono? Apa arti dua gepok uang yang diberikan kepada keluarganya?" katanya.
Ray mendesak pemerintah untuk mereformasi seluruh sistem yang ada di kepolisian, khususnya Densus 88. Penyelesaian kematian Siyono tidak bisa hanya diselesaikan di internal kepolisian, tetapi harus melalui investigasi independen.