by Krizia Putri Kinanti Jibi Bisnis - Espos.id News - Minggu, 17 September 2017 - 15:35 WIB
Esposin, JAKARTA -- Ekonom mengatakan bahwa kebijakan Bank Indonesia terkait pengenaan biaya isi ulang e-money adalah kebijakan yang ngawur.
Ekonom The Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Enny Sri Hartati, mengatakan apabila kebijakan ini tetap dijalankan maka hanya akan menguntungkan regulator dan perbankan.
“Kalau kebijakan ini dilakukan, berarti otoritas moneter kita benar-benar zalim terhadap masyarakat, kejam sekali, karena masyarakat itu sudah rela menaruh deposit uangnya di e-money, eh masih dibebani lagi,” tuturnya kepada Bisnis/JIBI, Minggu (17/9/2017).
Dia menambahkan alasan perbankan bertujuan untuk meningkatkan infrastruktur bukan merupakan alasan tepat. Pasalnya, peningkatan jumlah ATM atau mesin-mesin yang bisa mempermudah top up adalah bagian dari investasi perbankan. Baca juga: Isi Ulang GoPay Kena Biaya Rp2.500? Ini Klarifikasi Bank Mandiri.
Menurutnya, dengan kebijakan untuk mendorong masyarakat gerakan non tunai, mestinya BI memberikan berbagai macam kemudahan dan insentif. Apabila masyarakat malah diberikan beban, hal itu justru kontra produktif dengan gerakan nasional nontunai (GNNT).
“BI kan bilang kalau GNNT ini berhasil maka juga banyak kandungan jadi BI tidak perlu untuk mencetak uang baru yang lebih besar seiring dengan pertambanahan penduduk. Di samping itu, [e-money] akan meminimalisir uang palsu atau tidak layak edar ini penghematan juga bagi BI,” katanya.
Sementara penghematan dari sisi perbankan adalah potensi perbankan untuk mendapatkan dana murah. Dengan e-money, bank tidak perlu memberikan bunga untuk medapatkan biaya yang murah tadi.