news
Langganan

Warga Bukan Kotak Kosong - Espos Indonesia dari Solo untuk Indonesia

by Noval H.n. Irianto  - Espos.id News  -  Kamis, 15 Agustus 2024 - 19:36 WIB

ESPOS.ID - More than just publish.

Esposin, SOLO – Pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak adalah proses demokrasi skala lokal. Ada peningkatan jumlah kotak kosong dalam pilkada dari hanya tiga daerah pada pilkada 2015 bertambah menjadi sembilan daerah pada pilkada 2017, 16 daerah pada pilkada 2018, dan 25 daerah pada pilkada 2020.

Satu-satunya kemenangan kotak kosong tercatat pada pemilihan wali Kota Makassar pada 2018. Dalam konteks Kabupaten Klaten, konstelasi politik yang terbaca sangat ”membagongkan” arahnya.

Advertisement

Sikap-sikap kritis tiba-tiba memunggungi idealisme nalar politik demi berkoalisi dengan partai pemenang pada pemilihan anggota legislatif lokal. Afiliasi seperti ini sering dijumpai dalam kedinamisan konstelasi politik.

Pada suatu fragmen tertentu bersekutu dan pada suatu fragmen lain berseberangan seperti adagium esuk tempe sore dhele. Akumulasi praksis politiknya berupa negosiasi membangun koalisi gemuk atau koalisi besar yang kian masif untuk menuju pasangan calon tunggal dalam pilkada.

Ini menjadi grand design, upaya merekayasa, dengan membangun koalisi gemuk atau koalisi besar dengan alat tukar apa pun itu wujudnya. Hal ini menyebabkan orientasi aktor politik lokal sekedar menang dan mendapatkan kekuasaan.

Advertisement

Jabatan kepala daerah sering dianggap layaknya raja, apalagi di struktur sosial masyarakat Kabupaten Klaten yang cenderung berkultur feodal. Jabatan kepala daerah juga membuka banyak ruang penyalahgunaan kewenangan kekuasaan, contohnya korupsi yang menjerat penguasa terdahulu.

Berdasar data Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi atau Perludem, 80% dari 53 pasangan calon tunggal pada pilkada sampai tahun 2020 adalah petahana. Kini bupati petahana di Kabupaten Klaten tidak dapat mencalonkan diri kembali.

Tentu langkah-langkah taktisnya akan mendorong calon yang merupakan orang-orang terdekat yang mudah dikendalikan dari dalam dan dari luar pagar. Potensi kemunculan kotak kosong di pilkada Kabupaten Klaten bukan karena krisis calon pemimpin.

Jika teliti, banyak tokoh lokal yang mampu menjadi pemimpin Kabupaten Klaten. Persoalannya, mereka tidak memiliki kendaraan politik. Ada juga tokoh yang memang tidak mau masuk dalam politik praktis. Tokoh yang diharapkan menjadi alternatif pilihan tidak muncul di permukaan.

Advertisement

Di sisi lain, ada juga kader partai politik yang dipersepsikan mampu menjadi pemimpin, namun terkendala di internal partai. Entah itu disebabkan tidak mendapat restu dari elite partai atau tidak punya pengaruh kuat di internal partai.

Kendala seperti inilah yang membuat tokoh-tokoh di Kabupaten Klaten susah tampil (naik) di panggung politik lokal. Tokoh yang seharusnya jadi oase di tengah gempitanya figur publik justru melempem dalam kontestasi politik lokal.

Sedangkan di internal partai politik, persaingan agar didaulat menjadi calon kepala daerah juga semakin rumit sebab melewati beragam aral. Salah satunya dukungan elite partai maupun tokoh yang dianggap memiliki legitimasi dalam menentukan perjalanan partai.

Kondisi inilah yang membuat partai politik susah menemukan figur ideal untuk didukung sebagai calon kepala daerah. Partai politik cenderung mendukung pasangan calon yang dianggap punya peluang lebih besar menang daripada mengusung kader potensial.

Advertisement

Partai politik memang sengaja mendesain sedemikian rupa agar hanya ada satu calon kepala daerah yang maju di pilkada. Partai politik lalu berbondng-bondong memberi dukungan ke calon tersebut.

Inilah wajah despotisme baru di Kabupaten Klaten. Modus kekuasaan yang memanipulasi sistem politik dan institusi, termasuk memanipulasi regulasi dan norma-norma politik, demi mempertahankan serta memperluas kekuasaan tanpa melanggar norma demokrasi secara terbuka.

Dalam despotisme baru, kekuasaan dapat diperluas dengan cara “senyap” dan sangat kompleks. Fenomena lahirnya kotak kosong merupakan langkah legal dan tidak melanggar hukum. Calon kepala daerah yang melawan kotak kosong adalah proses demokrasi formal karena dipilih oleh rakyat.

Persoalannya adalah ada proses manipulatif untuk memunculkan dan memenangkan kotak kosong. Ini bagian dari praktik menjegal demokrasi. Kota kosong sengaja dimunculkan untuk memperlancar satu kandidat saja.

Advertisement

Lahirnya despotisme baru ini jelas menjadi tamparan bagi partai politik. Partai terjebak pada kekuasaan sehingga mesin partai tak mampu bergerak kaderisasi. Proses perkaderan adalah elemen penting partai politik agar berjalan sehat.

Apabila proses perkaderan tumpul, jangan harap partai politik bertahan lama (mati suri). Partai politik hanya menjadi gerbong organisasi yang berisi segerombolan politkus-politikus tua. Langkah partai politik yang cenderung mendukung calon kepala daerag di luar kader tentu saja menjadi kerugian bagi partai politik itu sendiri.

Selain menutup sirkulasi calon pemimpin di internal, partai politik hanya menjukkan dukungan secara formal di pemerintahan lokal Kabupaten Klaten. Dukungan mereka tak diikat secara ideologis seperti dukungan kepada kader partai sebab mengabaikan loyalitas.

Logikanya, mana mungkin partai loyal dan patuh kepala kader partai lain? Bisa jadi loyalitasnya melenyap setelah bulan madu politik mulai berasa pahit dan getir. Kepala daerah yang didukung tanpa melalui proses perkaderan berpotensi dikangkangi oleh partai politik.

Konsekuensinya, dia kesulitan menjalankan program kerja selama menjabat. Alih-alih menuntaskan jani-janji politik, arah kepemimpinan lebih banyak tarik-menarik kepentingan politik, bahkan saling jegal.

Pada posisi ini, jelas rakyat dirugikan, padahal rakyat sebagai pemilik sah kedaulatan politik. Pilkada adalah momentum untuk melahirkan kompetisi politik di Kabupaten Klaten secara sehat dan adil.

Advertisement

Pilkada adalah sebagai upaya menguji kemampuan partai politik mencetak calon-calon pemimpin terhebat untuk memenangi pertarungan.

Persaingan dengan kotak kosong yang hanya berpotensi melahirkan despotisme baru selaiknya diakhiri. Ini hanya akan melahirkan dominasi, baik popularitas, elektabilitas, dan personalisasi kandidat.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 12 Agustus 2024. Penulis adalah angggota Forum Komunikasi Partai Politik Nonparlemen (DPK Partai Prima) Kabupaten Klaten)

Advertisement
Ichwan Prasetyo - Jurnalis Solopos Media Group, menulis konten di media cetak dan media online.
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif