by Abu Nadzib - Espos.id News - Kamis, 2 Maret 2023 - 21:52 WIB
Esposin, JAKARTA — Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) dinilai melanggar UUD 1945 dan UU Pemilu karena memutuskan Pemilu 2024 harus ditunda hingga Juli 2025.
Majelis hakim PN Jakpus memenangkan gugatan Partai Prima yang merasa diperlakukan tidak adil oleh KPU selama proses pendaftaran sebagai peserta Pemilu 2024.
Sebagai informasi, Partai Prima tidak lolos dalam tahapan seleksi administrasi sebagai peserta pemilu.
Putusan majelis hakim PN Jakpus yang memenangkan Partai Prima dan meminta Pemilu 2024 ditunda diprotes berbagai kalangan karena dianggap melampaui kewenangan.
Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, menilai putusan PN Jakpus yang memerintahkan KPU untuk menunda Pemilu 2024 bertentangan dengan Pasal 22E ayat (1) UUD 1945.
Pasal tersebut mengatur pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, adil, dan setiap lima tahun sekali.
Selain itu, PN Jakpus juga dianggap menabrak Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum di mana sengketa terkait Pemilu menjadi kewenangan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Anggota Komisi II DPR Mardani Ali Sera mengatakan kewenangan memutuskan pemilu berjalan atau ditunda berada di Mahkamah Konstitusi (MK) dan bukan pengadilan negeri.
Berikut rujukan regulasi tentang Pemilu, yang dikutip Esposin dari UUD 1945 dan UU Pemilu, Kamis (2/3/2023):
(2) Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota DPR, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan wakil presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
(3) Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah partai politik.
(4) Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Daerah adalah perseorangan.
(5) Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri.
(6) Ketentuan lebih lanjut tentang pemilihan umum diatur dengan undang-undang.
(2). Sengketa proses Pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan sengketa yang timbul antara:
a. KPU dan Partai Politik calon Peserta Pemilu yang tidak lolos verifikasi sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan KPU tentang Penetapan Partai Politik Peserta Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 173;
b. KPU dan Pasangan Calon yang tidak lolos verifikasi sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan KPU tentang Penetapan Pasangan Calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 235; dan
c. KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota dengan calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota yang dicoret dari daftar calon tetap sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan KPU tentang Penetapan Daftar Calon Tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 256 dan Pasal 266.
(2). Pengajuan gugatan atas sengketa tata usaha negara Pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lama lima hari kerja setelah dibacakan putusan Bawaslu.
(3). Dalam hal pengajuan gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kurang lengkap, penggugat dapat memperbaiki dan melengkapi gugatan paling lama tiga hari kerja sejak diterimanya gugatan oleh pengadilan tata usaha negara.
(4). Apabila dalam waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) penggugat belum menyempumakan gugatan, hakim memberikan putusan bahwa gugatan tidak dapat diterima.
(5). Terhadap putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak dapat dilakukan upaya hukum.
(6). Pengadilan tata usaha negara memeriksa dan memutus gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 21 hari sejak gugatan dinyatakan lengkap.
(7). Putusan pengadilan tata usaha negara sebagaimana dimaksud pada ayat (6) bersifat final dan mengikat serta tidak dapat dilakukan upaya hukum lain.
(8). KPU wajib menindaklanjuti putusan pengadilan tata usaha negara sebagaimana dimaksud pada ayat paling lama tiga hari kerja.