by Newswire - Espos.id News - Selasa, 14 September 2021 - 03:20 WIB
Esposin, SOLO — Wakil Sekretaris Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) PP Muhammadiyah Titi Anggraini memandang penting ada diksi yang tegas menolak wacana masa jabatan presiden/wakil presiden RI tiga periode.
Karena tanpa diksi yang tegas wacana tersebut bisa mewujud menjadi kenyataan. Masa jabatan presiden tiga periode, kata dia, mengancam kredibilitas demokrasi Indonesia.
"Semua pihak yang punya otoritas (Presiden, DPR, DPD, maupun elite politik/pimpinan parpol) mestinya menghindari penghalusan/eufemisme dalam meresponsnya," kata Titi Anggraini dalam webinar LHKP PP Muhmmadiyah bertajuk Presiden Tiga Periode: Antara Manfaat dan Mudarat, Senin (13/9/2021) sore seperti dikutip Antara.
Ditegaskan kembali oleh Titi Anggraini bahwa penolakan sejumlah kalangan terkait dengan masa jabatan presiden/wakil presiden itu tidak lagi sekadar direspons secara formalitas kepatuhan berkonstitusi.
Ditegaskan kembali oleh Titi Anggraini bahwa penolakan sejumlah kalangan terkait dengan masa jabatan presiden/wakil presiden itu tidak lagi sekadar direspons secara formalitas kepatuhan berkonstitusi.
Baca Juga: Masa Jabatan Presiden Tiga Periode Mengancam Kredibilitas Demokrasi
"Faktanya teks Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 juga bisa diubah di tengah koalisi mayoritas saat ini," kata Titi dalam webinar yang diikuti sekitar 300 orang dari pelbagai daerah di Tanah Air.
Baca Juga: Megawati Ingatkan Lagi Kader Agar Patuhi Aturan Partai, Menyindir Siapa?
"Pergulatan hukum yang dikonstruksi sebagai produk reformasi yang inklusif untuk mencegah lahirnya kekuasaan yang otoriter dan terpusat pada individu atau mencegah personalisasi kepemimpinan bernegara," tuturnya memaparkan.
Namun juga tidak terlalu lama untuk memberi kesempatan bagi rakyat menilai kinerja dan kepemimpinan presiden apakah layak untuk terus berkuasa ataukah diganti sosok yang lebih tepat.
Baca Juga: Amendemen Terbatas UUD 1945? Surya Paloh: Tanya Rakyat
Masa jabatan dua periode ini, kata dia, menjadi mekanisme kontrol yang memberi insentif pada penguatan kultur kewargaan.
Sementara itu, masa jabatan tiga periode merupakan bentuk nyata multiple barriers to entry dalam politik dan pemilu Indonesia selain ambang batas pencalonan presiden maupun ketiadaan calon perseorangan di pilpres.
Selain itu, lanjut Titi, akan memperburuk politik dinasti/kekerabatan, baik dalam konteks politik nasional maupun lokal.
Masalahnya, masa jabatan yang sangat lama kemungkinan besar untuk mengokohkan kekuatan politik dalam semua lini.