by Rahmat Wibisono Jibi Solopos - Espos.id News - Senin, 30 Desember 2013 - 22:30 WIB
Hal yang mempengaruhi independensi dan imparsialitas media massa terhadap partai politik dan kandidat presiden/wakil presiden itu, menurut Margiono, merupakan salah satu masalah yang mengemuka dalam kehidupan pers Indonesia tahun 2013. “Terjun ke dunia politik adalah hak setiap orang, termasuk para pemilik media. Namun persoalannya, di sisi lain UU Pers menyatakan pers pertama-tama adalah institusi sosial,” papar Margiono mengingatkan.
Dalam kedudukannya sebagai institusi sosial itu, pers mestinya mengedepankan nilai-nilai dan kepentingan publik di atas kepentingan apa pun dan siapa pun. Oleh karena itu, secara etis dan normatif, dalam kaitannya dengan agenda suksesi kepemimpinan nasional, setiap institusi media harus bersikap netral, independen dan mengedepankan kepentingan-kepentingan bersama.
“Terlebih-lebih untuk media televisi yang dalam prakteknya menggunakan gelombang elektromagnetik, sebagai kekayaan publik yang semestinya digunakan untuk sebesar-besarnya kepentingan publik,” imbuhnya.
Dalam prakteknya, lanjut Margiono, muncul kecenderungan para pemilik media yang terjun ke dunia politik menggunakan media massa milik mereka sebagai “kendaraan politik”. “Muncul keberatan dari berbagai kalangan karena media massa, khususnya media televisi tertentu dianggap telah digunakan sebagai sarana pencitraan diri dan kampanye bagi kandidat presiden/wakil presiden atau partai politik tertentu,” ungkapnya.
Menanggapi kenyataan itu, PWI menurut Margiono, berpendapat pers sebagai sarana kritik masyarakat terhadap penyelenggaraan kekuasaan, semestinya juga terbuka terhadap kritik. Keberatan yang muncul tentang independensi media-media yang pemiliknya terjun ke dunia politik perlu ditanggapi dengan bijak dan seksama.
Sebagai institusi sosial, pers menurut PWI, semestinya bersikap imparsial dan membuka diri terhadap semua kepentingan dan semua sudut-pandang terhadap persoalan-persoalan yang muncul di masyarakat.