by Samdysara Saragih Jibi Bisnis - Espos.id News - Senin, 23 Oktober 2017 - 21:00 WIB
Esposin, JAKARTA -- Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menilai pengesahan Perppu No. 2/2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) menjadi solusi paling rasional. Syaratnya, pengesahan itu harus disusul dengan sejumlah revisi dalam beleid itu.
Ketua Lembaga Kajian dan Pengembangan SDM (Lakpesdam) PBNU Rumadi Ahmad mengingatkan bahwa kelahiran Perppu Ormas bersifat mendesak guna menghadapi kelompok perongrong ideologi Pancasila. Sebaliknya, dia memahami keberatan sejumlah fraksi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) terhadap beberapa klausul dalam aturan tersebut.
Untuk itu, menurut Rumadi, pemerintah juga perlu mengakomodasi usulan parlemen. Solusi dari kebuntuan ini adalah revisi terbatas segera setelah Perppu Ormas menjadi UU.
“Ini lebih memungkinkan secara politik. Presiden juga tak kehilangan muka. Kepentingan untuk menghadapi kelompok yang mengganggu kepentingan bangsa pun bisa dipenuhi,” kata Rumadi seusai konferensi pers di Jakarta, Senin (23/10/2017).
PBNU merupakan salah satu pendukung utama penerbitan Perppu Ormas. Beleid itu mengubah sejumlah ketentuan dalam UU No. 17/2013 tentang Ormas, terutama mengenai mekanisme pembubaran ormas.
Dalam Perppu Ormas, pemerintah dapat langsung mencabut badan hukum ormas tanpa melalui pengadilan. Selain itu, para pentolan ormas juga dapat dipidana dengan kurungan maksimal 20 tahun bila terbukti melakukan tindakan permusuhan dan penodaan agama.
Rumadi mengharapkan dua norma itulah yang direvisi sesudah pengesahan Perppu Ormas. Menurutnya, pembubaran ormas tetap memungkinkan melalui pengadilan, tetapi dengan memperpendek prosesnya. “Ini soal prinsip, karena membubarkan perseroan terbatas saja lewat pengadilan, tapi ormas kok tidak,” ujarnya.
Adapun, tambah Rumadi, terkait ancaman hukuman penistaan agama tidak perlu dicantumkan lagi. Pasalnya, PNPS No. 1/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama telah mencantumkan hukuman maksimal 5 tahun. “Kalau sampai Perppu ada penambahan pidana sampai 20 tahun itu sudah berlebihan,” tutur mantan peneliti The Wahid Institute ini.