by Adib Muttaqin Asfar Antara Jibi - Espos.id News - Jumat, 1 April 2016 - 22:31 WIB
Esposin, JAKARTA -- Presiden Direktur (Presdir) PT Agung Podomoro Land (Tbk) Ariesman Widjaja (Awj) menyerahkan diri ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jumat (1/4/2016) malam. Sempat diminta menyerahkan diri oleh KPK, Ariesman sempat bersembunyi di kantornya sebelum keluar.
Ariesman yang datang dengan kaus warna abu-abu tersebut ditemani kuasa hukumnya. Kepala Biro Humas KPK, Yuyuk Andriati, mengatakan bos properti itu datang dengan sendirinya dan sebelumnya sempat menghubungi penyidik.
"Dia bersama kuasa hukum menemui penyidik. Saat ini masih diperiksa penyidik," kata Yuyuk kepada wartawan di Gedung KPK, Jumat (1/4/2016) malam, seperti ditayangkan Metro TV.
"Dia sendiri yang menghungi penyidik, diantar kuasa hukum ke sini. Sebelumnya dia bersembunyi di kantor, yang di Jakarta Barat," sambung Yuyuk.
Sebelumnya, Pimpinan KPK telah mengungkap kasus pemberian suap dari Agung Podomoro Land kepada politikus DPRD DKI Jakarta dari Fraksi Partai Gerindra, M. Sanusi. Tak hanya Sanusi, Presiden Direktur (Presdir) Agung Podomoro Land, Ariesman Widjaja (Awj), juga menjadi tersangka dalam kasus ini.
KPK juga sudah mengeluarkan permintaan cegah Ariesman untuk bepergian keluar negeri. "KPK tidak hanya menghimbau, hari ini sudah dikeluarkan surat permintaan pencegahan dan KPK juga akan melakukan upaya paksa untuk dihadirkan, hanya sekarang posisinya saja yang timbul tenggelam di sana sini, mudah-mudahan waktu dekat bisa menghadirkan yang bersangkutan di KPK," ungkap Agus.
Ariesman disangkakan pasal 5 ayat 1 huruf a atau pasal 5 ayat 1 b atau pasal 13 UU No. 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20/2001 Tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1 jo pasal 64 ayat 1 KUHP.
Pasal tersebut berisi tentang memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya. Hal itu bertentangan dengan kewajibannya dengan ancaman pidana paling singkat 1 tahun dan lama 5 tahun ditambah denda paling sedikit Rp50 juta dan paling banyak Rp250 juta.