by Chelin Indra Sushmita - Espos.id News - Kamis, 7 Oktober 2021 - 17:56 WIB
Dihimpun Esposin dari berbagai sumber, Kamis (7/10/2021), semburan itu berasal dari Sumur Bajarpanji 1 di Kecamatan Porong. Titik munculnya semburan berasal dari lokasi pengeboran gas milik PT Lapindo Brantas.
Awalnya semburan lumpur bercampur gas itu muncul pada waktu subuh di tengah persawahan desa. Warga dilaporkan keracunan akibat menghirup gas tersebut. Belakangan diketahui bahwa gas itu mengandung zat hidrogen sulfida.
Baca juga: Rekor! Lumpur Lapindo Jadi Bencana Metana Terbesar di Bumi
Baca juga: Rekor! Lumpur Lapindo Jadi Bencana Metana Terbesar di Bumi
Bencana ini pun memecahkan rekor sebagai sumber metana terbesar di Bumi. Fakta tersebut dijelaskan dalam artikel jurnal bertajuk Relevant Methane Emission to the Atmosphere from a Geological Gas Manifestation yang dirilis Scientific Report pada 18 Februari 2021.
Para peneliti menyebutkan bahwa semburan lumpur Lapindo memecahkan rekor sejarah gas metana tertinggi di Bumi yang menyumbang efek gas rumah kaca dan bencana hidrometeorologi di Indonesia.
Seperti diketahui semburan lumpur panas itu kali pertama muncul di Dusun Balongnongo, Desa Ronokenongo dan Desa Jatirejo, Kecamatan Porong, Sidoarjo, Jawa Timur, pada 29 Mei 2006. Lumpur panas yang terus menyembur ini menggenangi permukiman, pertanian, dan perindustrian di tiga kecamatan di sekitarnya.
Baca juga: Guyonan Gus Dur Soal Lumpur Lapindo, Receh Tapi Bikin Ngakak
Lokasi pusat semburan hanya berjarak 150 meter dari sumur Banjar Panji-1 (BJP-1), yang merupakan sumur eksplorasi gas milik PT Lapindo Brantas.
Sampai saat ini belum diketahui dengan pasti penyebab munculnya semburan gas dan lumpur panas tersebut. Ada yang menyebut semburan muncul akibat pecahnya formasi sumur pengeboran. Sementara beberapa ahli mengatakan semburan lumpur panas itu disebabkan patahan, seperti terjadi di beberapa lokasi, salah satunya di Jawa Tengah, yaitu Bledug Kuwu.
Pada 18 April 2007, Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono menerbitkan Perpres Nomor 14 Tahun 2007 tentang Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo yang bertugas menanggulangi semburan dan dampak bencana lainnya. Akan tetapi hingga 2008, semburan lumpur belum berhenti bahkan masih menyembur hingga 100.000 meter kubik per hari.
Guna menanggulangi luapan lumpur dibuatlah tanggul untuk menampung material semburan lumpur Lapindo. Namun, karena volumenya besar, tanggul itu tidak mampu menampung seluruh luapan lumpur dan akhirnya menjadikan lahan yang terkena dampak menjadi semakin luas.
Baca juga: Misteri Makam Dasamuka di Kawah Gunung Ungaran Semarang
Semburan lumpur ini juga membawa dampak yang luar biasa bagi masyarakat sekitar maupun bagi aktivitas perekonomian di Jawa Timur. Sampai Mei 2009, PT Lapindo, melalui PT Minarak Lapindo Jaya telah mengeluarkan uang baik untuk mengganti tanah masyarakat maupun membuat tanggul sebesar Rp6 triliun.
Kasus semburan lumpur panas PT Lapindo ini berlangsung lama sehingga pemerintah mendapat kritikan karena dianggap tidak serius menanganinya. Pemerintah hanya membebankan kepada Lapindo pembelian lahan bersertifikat dengan harga berlipat-lipat dari harga NJOP.
Sejumlah aktivis lingkungan hidup mengecam penanganan bencana lumpur Lapindo. Mereka menilai pemerintah terlalu lamban dan menganggap solusi yang diberikan dalam penanganan bencana itu justru menimbulkan masalah baru.
Sementara itu PT Lapindo Brantas Inc. sendiri lebih sering mengingkari perjanjian-perjanjian yang telah disepakati bersama dengan korban.