news
Langganan

Melindungi Sang Raksasa Laut dari Kepunahan - Espos Indonesia dari Solo untuk Indonesia

by Rohmah Ermawati  - Espos.id News  -  Rabu, 13 September 2023 - 10:39 WIB

ESPOS.ID - Hiu paus. (indonesia.go.id)

Esposin, SOLO--Hiu paus atau whale shark kerap disebut sebagai ikan terbesar di dunia. Spesies bernama latin Rhincodon typus itu memang bertubuh jumbo, panjang pejantan dewasa umumnya 7-10 meter atau setara panjang bus pariwisata kapasitas 45 penumpang. Sedangkan hiu paus betina tubuhnya jauh lebih besar bisa mencapai 12 meter.

Ikan yang dikenal dengan ciri khas pola totol-totol putih di sekujur tubuhnya itu populer karena sikapnya yang cenderung ramah terhadap manusia. Namun, populasi hiu paus di lautan terus menurun hingga pada 2016 International Union for Conservation of Nature (IUCN) menetapkan status konservasinya menjadi terancam punah (Endangered/EN)  akibat berbagai aktivitas manusia.

Advertisement

Hiu paus hidup di perairan tropis hingga subtropis yang hangat, kecuali di Laut Mediterrania. Menurut Colman (2007), hiu paus dianggap sepenuhnya pelagis alias memiliki habitat di perairan terbuka dan biasa ditemukan di wilayah lepas pantai dan dekat dengan daratan, masuk ke laguna dan atol karang, serta dekat dengan mulut muara dan sungai untuk mencari makan.

Di Indonesia, hiu paus dapat ditemui di hampir seluruh wilayah perairan, seperti di Sabang, Padang, Ujung Kulon, Kepulauan Seribu, Probolinggo, Kalimantan Timur, Bali, Nusa Tenggara, Gorontalo, Sulawesi Tengah, Maluku, dan Papua. Kemunculan hiu paus relatif bersifat musiman, kecuali di Kwatisore, Teluk Cenderawasih, Papua, masuk kawasan Taman Nasional Teluk Cenderawasih.

Mengutip indonesia.go.id, mamalia ini hidup berkelompok mengembara di samudra tropis dan lautan beriklim hangat serta berumur panjang hingga 70 tahun. Makanan favorit makhluk yang dipercaya berasal dari era 60 juta tahun lampau itu adalah plankton. Sebagai pemakan plankton, hiu paus yang memiliki lima pasang insang menyaring air laut melewati mulutnya yang superbesar, selebar 1,5 meter.

Advertisement

Hiu paus membuka mulut, membawa air yang kaya akan plankton. (floridamuseum.ufl.edu/Werner Mischler)

Berbeda dengan hiu putih yang bergigi besar dan tajam laksana pisau, gigi cucut geger lintang --julukan masyarakat Jawa untuk hiu paus-- justru terlihat sangat kecil dan berjumlah 300-350 buah. Selain plankton, hiu paus yang jamaknya memiliki dua sirip punggung dan dua sirip dada itu juga senang mengonsumsi ikan-ikan kecil, seperti teri dan nike.

Tidak ada angka pasti berapa banyak populasi hewan ini di Indonesia. Hanya saja, perairan Nusantara yang subur dengan ekosistem ikan-ikan kecil dapat dipastikan menjadi lokasi paling sering disinggahi raksasa pengembara samudra ini. Misalnya di Kalimantan Timur, Teluk Cenderawasih Papua, dan Teluk Saleh Sumbawa (Nusa Tenggara Barat), Probolinggo (Jawa Timur), dan Teluk Tomini di Gorontalo.

Hiu paus adalah sahabat para penyelam ketika di dalam laut karena ikan itu tidak pernah mengganggu bahkan menyerang. Sayangnya, dengan tubuh tambunnya itu hiu paus tak mampu berenang cepat dan acap tersangkut jaring nelayan atau tubuhnya terluka akibat terkena baling-baling (propeller) perahu.

Sebutan Berbeda di Tiap Daerah

Laman wwf.id yang diakses Rabu (13/9/2023), membeberkan hiu paus memiliki nilai budaya tersendiri yang cukup unik di kalangan masyarakat Indonesia, terutama di berbagai lokasi yang telah lama menjadi titik kemunculan satwa tersebut. Di Kalimantan Timur, khususnya Derawan, Balikukup, dan Talisayan, hiu paus dipercaya sebagai hewan keramat sehingga masyarakat setempat melarang penangkapannya.
Advertisement

Konon, ada kisah mengenai hiu paus yang menyelamatkan seorang korban tenggelam. Selain itu, hewan tersebut juga dianggap sebagai pembawa berkah oleh nelayan karena umumnya kehadiran hiu paus disertai juga dengan kehadiran ikan-ikan lain yang menjadi target tangkapan bagi nelayan.

Bagi masyarakat Balikukup, hiu paus dikenal dengan nama hiu mbok atau hiu nenek yang dinggap jelmaan dari roh seorang nenek yang baik hati. Apabila nelayan di Balikukup bertemu dengan hiu paus saat melaut, mereka meyakini akan banyak rejeki yang menyertai mereka pada hari itu.

Sedangkan masyarakat Talisayan dahulu menganggap hiu paus sebagai hama karena kebiasaan berenangnya yang dianggap merusak jaring nelayan. Namun lambat laun, masyarakat mulai menyadari bahwa hiu paus memiliki daya tarik yang begitu tinggi sebagai objek wisata.

Sedangkan di Muncar, Jawa Timur, warga mengenal hiu paus sebagai hiu kakek. Hiu paus dianggap sebagai sosok penjaga laut, sehingga ketika nelayan menemui hiu paus, mereka memberikan persembahan berbentuk rokok atau nasi sembari mengucapkan "Mbah amit putune ajeng e megawe, njenengan paringi rezeki" yang berarti "Mbah permisi cucunya mau kerja, tolong dikasih rezeki."

Advertisement

Petugas forensik Indonesia Wildlife Network berdiri di samping hiu paus (Rhincondon typus) yang ditemukan mati di Pantai Air Kuning, Jembrana, Bali, pada 17 Juni 2023. (Antara/HO-BPSPL Denpasar)Pada tahun 1976, ketika masyarakat menemukan hiu paus terdampar di Muncar, masyarakat bergotong-royong untuk menguburkan hiu paus tersebut menggunakan kain kafan. Hal ini dilakukan karena hiu paus juga dianggap sebagai hewan yang sakral bagi mereka.

Sementara itu di Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur, hiu paus dikenal dengan nama lokal kareo dede. Masyarakat Bajo melarang penangkapan hiu paus karena mereka percaya ikan itu dijaga oleh dewa sehingga hiu tersebut memiliki kemampuan menolong nelayan yang sedang melaut.

Sedangkan masyarakat Botubarani, Gorontalo, mengenal hiu paus sebagai munggianggo hulalo yang berarti hiu bulan. Kemunculan hiu paus dianggap sebagai pertanda dimulainya musim ikan-ikan kecil. Masyarakat juga menyadari daya tarik hewan tersebut sebagai objek wisata hingga nelayan rela merusak jaring mereka agar hiu paus yang terperangkap dalam jaring dapat kembali ke alam bebas.

Advertisement

Lain halnya dengan masyarakat di sekitar Teluk Saleh, Sumbawa, yang mengenal hiu paus dengan sebutan pakek torok yang berarti hiu tuli. Sebutan tersebut berasal dari perilaku hiu yang seolah-olah tidak mendengar suara deru mesin bagan ketika sedang mengangkat jaring. Hiu paus dianggap sebagai pertanda baik karena kehadirannya disertai ikan-ikan lain yang menjadi sasaran nelayan.

Sementara itu, masyarakat di Teluk Cenderawasih, khususnya di Kwatisore, percaya desa mereka adalah rumah bagi ikan yang mereka namai gurano bintang itu. Hiu paus juga dipercaya membawa keberuntungan dan berkah sehingga hiu tersebut dilarang disakiti, dibunuh ataupun dimakan oleh masyarakat.

Di masa lalu, nelayan kerap kali merasa jengkel oleh ulah hiu paus tersebut. Hewan bertubuh besar itu bahkan pernah dianggap hama lantaran kerap memakan hasil tangkapan nelayan, yaitu ikan-ikan kecil, yang juga menjadi santapan si cucut geger lintang. Apalagi ikan ini lambat dalam bereproduksi dan hanya menghasilkan anakan yang sedikit dan pertumbuhannya pun lambat.

Perlindungan untuk Hiu Paus

Sejak terbitnya Peraturan Menteri Perikanan dan Kelautan nomor 18 tahun 2013 tentang Perlindungan Penuh Hiu Paus, setiap bentuk eksploitasi terhadap ikan ini dilarang. Pengamat Perikanan dan Kelautan Universitas Mataram Mahardika Himawan Rizki menjelaskan pemerintah telah mengedukasi beberapa daerah yang menjadi tempat kemunculan hiu paus sebagai objek wisata khusus seperti di Teluk Saleh dan Teluk Tomini.

Hiu pasu dikelilingi ikan-ikan kecil. (cms.int)

Kedatangan wisatawan untuk melihat ikan besar ini secara tak langsung telah mengangkat kesejahteraan masyarakat dan para nelayan di sekitar objek kemunculannya. Jasa penyewaan perahu dan alat menyelam tumbuh subur. Para pemilik bagan juga turut kecipratan uang dari kehadiran wisatawan yang ingin melihat dari dekat kehadiran hiu paus atau menyelam di sekitar bagan.

"Kesadaran nelayan yang daerahnya menjadi lokasi kemunculan hiu paus saat ini memang sudah bagus. Sesekali hiu paus mengejar makanan mereka dan terjerat jaring nelayan yang kemudian melepaskannya kembali," ujar Mahardika seperti dikutip dari Mongabay.

Advertisement

Kondisi serupa juga terjadi di kawasan Teluk Tomini, tepatnya di perairan yang berada di Desa Botubarani, Kecamatan Kabila Bone, Kabupaten Bone Bolango, Gorontalo. Jika di Teluk Saleh, para wisatawan harus berjuang dengan menyeberangi perairan selama sekitar dua jam untuk sampai ke lokasi kemunculan hiu paus, maka tidak demikian di Botubarani.

Di tempat ini pengunjung hanya cukup menaiki perahu nelayan dan berlayar sekitar 100 meter saja dari bibir pantai sudah dapat berjumpa dengan hiu paus. Kehadiran hiu paus hampir setiap hari dalam jumlah cukup banyak, mencapai 10 ekor dan berenang hingga ke tepi pantai, menjadi pemandangan tersendiri bagi warga terutama dari luar desa.

Kemunculan hiu paus setiap hari turut ditunjang oleh kehadiran pabrik pengolahan udang di pesisir Botubarani. Apalagi pabrik kerap membuang potongan udang ke laut dan menjadi santapan hiu paus. Satu sisi, kemunculan hiu paus hampir setiap hari dan kedatangan masyarakat untuk berwisata menyaksikan hewan jinak itu memberi berkah bagi nelayan dan penduduk sekitar.

Di sisi lain, membeludaknya wisatawan bahkan sampai 10.000 orang per bulan untuk menonton dari atas perahu atau nekat berenang mendekati ikan hiu paus menimbulkan kecemasan dari para nelayan. Mereka khawatir jika hal itu dibiarkan, bukan tidak mungkin hiu paus akan pergi dari Kawasan Konservasi Perairan Daerah (KKPD) seluas 35 hektare tersebut dan bakal berdampak warga.

Guru besar bidang kelautan asal Argentina, Gonzalo Araujo, yang telah 10 tahun meneliti makhluk besar lautan seperti hiu paus di seluruh dunia, bahkan sampai terjun langsung ke Botubarani untuk meneliti dan mengedukasi masyarakat sekitar.

Seperti dia sampaikan di dalam jurnal kelautan milik Marine Research and Corservation Foundation, hiu paus di Teluk Tomini telah membantu pariwisata berkelanjutan di daerah tersebut. Ia juga meminta agar mempertahankan sisi liar dari hiu paus sebagai makhluk laut yang mencari mangsa sendiri dan tidak disediakan secara sengaja oleh manusia.

Penyelam berenang bersama hiu paus. (floridamuseum.ufl.edu/Jeff Trotta)

Bersama sejumlah peneliti Indonesia, mereka pun mendokumentasi dan menandai jelajah ikan hiu paus lewat pemasangan transmiter bernama accelerometer di sirip punggung si raksasa lautan tersebut. Mereka juga mengusulkan adanya perlindungan penuh kepada hiu paus Teluk Tomini supaya tidak punah.

Karena menurut Dewan Konservasi Alam Internasional (IUCN), hewan laut raksasa ini telah masuk ke dalam Daftar Merah (Red List) kategori Rentan (Vulnerable) dari kepunahan.

Dinas Pariwisata Gorontalo kemudian menjadikan tanggal 30 Agustus 2020 sebagai dimulainya perayaan Hari Hiu Paus Internasional (Whale Shark International Day) yang dipusatkan di Botubarani. Peristiwa itu dijadikan awal dari deklarasi dukungan terhadap pengelolaan destinasi wisata hiu paus di Pantai Botubarani secara mendunia dan berkelanjutan.

Konservasi hiu paus harus dilakukan berkelanjutan dibarengi menjaga kebersihan ekosistemnya dari pencemaran agar populasinya tetap ada dan bertambah. Selain melestarikan kearifan lokal yang menjadi ciri khas tersendiri masyarakat adat di Indonesia, nilai-nilai budaya yang juga secara bersamaan mengusung nilai konservasi dan keberlanjutan tentunya dapat mendukung upaya konservasi hiu paus.

Advertisement
Rohmah Ermawati - Jurnalis Solopos Media Group, menulis konten di media cetak dan media online.
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif