news
Langganan

Kisah Inspiratif Endah Sulistyowati, Mengantar Banyak Sekolah Menjadi Adiwiyata - Espos Indonesia dari Solo untuk Indonesia

by Afifa Enggar Wulandari  - Espos.id News  -  Jumat, 12 Juli 2024 - 10:25 WIB

ESPOS.ID - Kepala SMPN 5 Klaten sekaligus penggiat lingkungan, Endah Sulistyowati. (Afifa Enggar Wulandari).

Esposin, KLATEN -- Kepala SMPN 5 Klaten sekaligus penggiat lingkungan, Endah Sulistyowati telah puluhan tahun mengajarkan pendidikan lingkungan bagi siswa, guru, dan masyarakat.

Endah yang juga aktivis Srikandi Sungai Klaten, bersama para perempuan Klaten mendedikasikan diri untuk kelestarian kawasan sungai.

Advertisement

Saat di lingkungan sekolah, ia gigih mengajak peserta didiknya untuk peduli lingkungan, terutama mengatasi sampah plastik. Semasa ia belum menjadi kepala sekolah, Endah hanya bisa mengoptimalkan pendidikan lingkungan melalui jam mata pelajarannya.

Anak-anak diajak membersihkan kelas, merefleksi apa pentingnya lingkungan bersih nan sehat, juga menyepakati kontrak belajar yang salah satu poinnya harus membuang sampah dengan benar.

”Di situ diskusi muncul. Ternyata kelasnya gak punya bak sampah. Saya berembug dengan sekolah, akhirnya disediakan bak sampah,” kata Endah saat berbincang dengan Espos di Griya Solopos, Kamis (11/7/2024) siang.

Advertisement

Sekolah tempatnya bertugas selalu menyabet predikat Sekolah Adiwiyata. Sebab itu pula, sampai-sampai ia dijuluki “Guru Peduli Lingkungan” oleh banyak rekannya.

Terakhir, prestasi itu didapat SMPN 5 Klaten yang dinobatkan sebagai Sekolah Adiwiyata tingkat provinsi, Selasa (25/6/2024) lalu.

Banyak kiprah Endah dalam menjaga lingkungan agar tetap harmoni dan lestari. Endah tak ingin ilmu alam dipahami sebatas di ruang kelas. Ia kerap mengajak murid-murid belajar di luar kelas.

Mengajari anak untuk memahami dan merawat alam, haruslah dilakukan dengan menyenangkan.

Advertisement

“Memberi contoh macam-macam sampah, ya langsung [ditunjukkan] dari sampah yang ada di sekeliling kelas. Anak-anak tidak hanya diajari oh jenis sampah ada berapa, tapi ditunjukkan. Setelah itu dikelola,” kata dia.

Endah juga menggagas beberapa inovasi. Misalnya saat masih menjadi Kepsek SMPN 1 Jogonalan, calon siswa baru dibolehkan menukar sampah plastik dengan stopmap. Ia juga pernah menggagas one student one plant.

Perjuangan tak selalu mulus. Endah juga harus berhadapan dengan kendala saat ia hendak mengajak orang-orang sekitar untuk terus menjaga lingkungan.

Di sekolah misalnya, kendala itu seperti belum adanya regulasi dari kepala sekolah, kondisi sosial setempat, hingga psikologis siswa yang belum siap diajak ‘sadar lingkungan’.

Advertisement

Namun Endah tak gentar. Ia perlahan mengajak guru dan siswa yang sevisi dengannya. Bila ada warga sekolah yang belum bisa digandeng, Endah akan pelajari dulu sebab musabab. Ia akan berdiskusi dengan mereka secara persuasif.

Tapi baginya, berdasarkan pengalamannya di salah satu SMP yang ada di Klaten, membangun karakter anak menjadi lambar atau alas bagi pendidikan lingkungan yang utuh. Bila karakter anak sudah terbentuk, mereka akan mudah memahami apa urgensi merawat lingkungan.

“Saya perbaiki karakter dulu sebab tidak mungkin benahi lingkungan selama karakter tidak support,” kata dia.

Berpindah-pindah tempat mengajar membuatnya belajar banyak situasi dan permasalahan. Mulai dari Sukoharjo hingga Klaten, dari Jogonalan, Klaten, hingga Karangnongko.

Advertisement

Namun dari situ, Endah justru lebih bisa merumuskan formula yang tepat untuk mendidik warga sekolah sesuai ekosistem sekolah.

Dalam membangun ekosistem sekolah yang sadar akan lingkungan, Endah juga membangun hubungan baik dengan guru dan orang tua. Semua dirangkulnya.

Pencapaiannya memang tak sekadar menghitung berapa banyak sekolah yang ia pimpin untuk menjadi Sekolah Adiwiyata. Namun seberapa dalam nilai-nilai kecintaan lingkungan itu tertanam dalam diri seluruh warga sekolah?

Meski ini merupakan tahun terakhir ia sebagai guru, Endah tetap optimistis kecintaan lingkungan bukan sebatas program atau euforia sesaat. Ia yakin telah mewariskan nilai dan ilmu di sekolah-sekolah.

Sebab, pengajaran lingkungan darinya tak sekadar dikte mendikte. Melainkan pengajaran yang selalu melibatkan nurani, kesadaran, dan rasa menghormati manusia terhadap alam.

“Usai pensiun, saya sangat yakin anak didik, rekan guru akan terus meneruskan apa yang sudah saya mulai selama ini. Sebab itu terinternalisasi, bukan sekadar program,” kata dia.

Advertisement
Ika Yuniati - Jurnalis Solopos Media Group, menulis konten di media cetak dan media online.
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif