by Nugroho Meidinata Restu Wahyuning Asih - Espos.id News - Jumat, 16 Februari 2024 - 13:22 WIB
Esposin, SOLO — Dalam menghitung jatah kursi DPR dan DPRD provinsi maupun kabupaten/kota dalam Pemilu 2024 melalui proses dan cara yang panjang karena harus menunggu Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengumumkan secara resmi hasil Pemilu dan Pilpres 2024.
Proses pembagian kursi DPR dan DPRD pada tahun ini kemungkinan besar menggunakan metode Sainte Lague yang sama digunakan pada 2019. Metode ini diperkenalkan oleh seorang pakar matematika asal Prancis bernama Andre Sainte Lague pada 1910.
Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Bahtiar mengatakan bahwa aturan mengenai metode Sainte Lague tertuang dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum, yaitu dalam Pasal 414 Ayat 1, disebutkan bahwa setiap partai politik peserta Pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara sebesar 4%.
Mengutip Rumahpemilu.org, untuk menghitung perolehan kursi DPR dan DPRD caranya juga memperhatikan caleg di masing-masing partai politik. Hal ini dikarenakan Indonesia menerapkan sistem proporsional daftar terbuka, kursi yang didapat parpol di daerah pemilihan diberikan kepada caleg dengan perolehan suara terbanyak di daerah pemilihan itu.
Mengutip Rumahpemilu.org, untuk menghitung perolehan kursi DPR dan DPRD caranya juga memperhatikan caleg di masing-masing partai politik. Hal ini dikarenakan Indonesia menerapkan sistem proporsional daftar terbuka, kursi yang didapat parpol di daerah pemilihan diberikan kepada caleg dengan perolehan suara terbanyak di daerah pemilihan itu.
Pada tahap penghitungan kursi, parpol yang tak lolos ambang batas parlemen tak akan diikutkan dalam penghitungan perolehan kursi DPR. Namun, ketentuan ini tak berlaku bagi penghitungan kursi DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota. Sebab, di daerah tidak berlaku ambang batas parlemen. Dengan demikian, untuk DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota, hanya ada dua tahapan, yakni menentukan perolehan kursi parpol, lalu menentukan caleg yang mendapat kursi itu.
Kemudian menilik dari Pasal 415 (2), setiap partai politik yang memenuhi ambang batas akan dibagi dengan bilangan pembagi 1 yang diikuti secara berurutan dengan bilangan ganjil 3, 5, 7 dan seterusnya.
Dari pembagian itu, suara paling besar ada Partai A. Sehingga Partai A berhak satu kursi. Cara menghitung untuk kursi kedua Penghitungan selanjutnya, Partai A dibagi dengan bilangan 3, sedangkan Partai lainnya tetap dengan 1. Hasilnya:
Partai A : 30.000 dibagi 3 = 10.000 Partai B: 20.000 dibagi 1 = 20.000 Partai C : 15.000 dibagi 1 = 15.000 Partai D: 7.000 dibagi 1 = 7.000 Partai E : 5.000 dibagi 1 = 5.000
Dari pembagian itu, jatah kursi kedua diperoleh Partai B.
Partai A : 30.000 dibagi 3 = 10.000 Partai B : 20.000 dibagi 3 = 6.666 Partai C : 15.000 dibagi 1 = 15.000 Partai D : 7.000 dibagi 1 = 7.000 Partai E : 5.000 dibagi 1 = 5.000
Alokasi kursi ke-3 diperoleh Partai C. Adapun untuk pembagian kursi ke-4, Partai A, Partai B, dan Partai C dibagi 3 sedangkan partai lain tetap dibagi 1.
Partai A : 30.000 dibagi 3 = 10.000 Partai B : 20.000 dibagi 3 = 6.666 Partai C : 15.000 dibagi 3 = 5.000 Partai D : 7.000 dibagi 1 = 7.000 Partai E : 5.000 dibagi 1 = 5.000
Partai A kembali meraih satu kursi.
Partai A : 10.000 dibagi 5 = 2.000 Partai B : 20.000 dibagi 3 = 6.666 Partai C : 15.000 dibagi 3 = 5.000 Partai D : 7.000 dibagi 1 = 7.000 Partai E : 5.000 dibagi 1 = 5.000
Partai D meraih alokasi 1 kursi. Penghitungan kursi ke-6, Partai A dibagi bilangan 5, Partai B, Partai C, dan Partai D dibagi 3, dan partai lain tetap 1.
Partai A : 10.000 dibagi 5 = 2.000 Partai B : 20.000 dibagi 3 = 6.666 Partai C : 15.000 dibagi 3 = 5.000 Partai D : 7.000 dibagi 3 = 2.333 Partai E : 5.000 dibagi 1 = 5.000
Kursi keenam diperoleh Partai B. Dengan demikian, komposisi perolehan suara partai untuk contoh dapil di atas adalah Partai A dan Partai B mendapat masing-masing dua kursi, sedangkan partai C dan Partai D masing-masing 1 kursi.