by Edi Suwiknyo Jibi Bisnis - Espos.id News - Rabu, 8 Maret 2017 - 23:00 WIB
Esposin, JAKARTA -- Jumlah Laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan (LTKM) pada awal 2017 ini meningkat dibandingkan Desember 2016. Dalam laporan statistik bulanan yang dirilis Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) pada Januari lalu, jumlah LTKM menembus angka 4.651 atau naik 5,4%.
Laporan transaksi mencurigakan tersebut diperoleh dari 167 penyedia jasa keuangan (PJK). Sebagian besar, LKTM tersebut disampaikan oleh PJK bank yakni sebanyak 53,2%, sedangkan sisanya atau 46,8% merupakan penyedia jasa nonbank.
Kendati mengalami peningkatan, namun Wakil Kepala PPATK Dian Ediana Rae memaparkan fenomena tersebut tidak selalu disangkutpautkan dengan meningkatnya jumlah pelaku kejahatan di sektor keuangan. “Tetapi lebih disebabkan meningkatnyaawareness pelapor dan juga peningkatan aktivitas transaksi keuangan,” kata Dian kepada Bisnis/JIBI, Rabu (8/3/2017).
Kepatuhan para pelapor tersebut tak bisa dilepaskan dari peran mereka untuk melakukan sejumlah terobosan termasuk bekerja sama dengan Lembaga Pengatur dan Pengawas. Tujuannya, supaya para penyedia jasa keuangan patuh melaporkan setiap transaksi keuangan mencurigakan.
‘Diharapkan peningkatan jumlah LTKM tersebut dibarengi kualitas, sehingga bisa mendeteksi lebih dini adanya tindak pidana pencucian uang (TPPU) dan tindak pidana lainnya,” tambahnya.
Adapun dari jumlah tersebut, hanya 26,1% yang terkait tindak pidana. Tindak pidana asal yang dominan adalah penipuan, korupsi, hingga tindak pidana bidang perpajakan.
Terkait TPPU, lembaga intelijen keuangan tersebut juga sedang berproses menjadi anggota Financial Action Task Force on Money Loundering (FATF). Hingga saat ini, Indonesia merupakan satu-satunya negara G-20 yang belum menjadi anggota FATF.
Padahal, jika melihat persyaratannya, Indonesia sebenarnya sudah cukup lengkap untuk masuk sebagai anggota FATF. Misalnya dari sisi GDP, jumlah penduduk, hingga standar perbankan-nya. Terkait pidana perpajakan, PPATK sendiri terus berkoordinasi dengan Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak untuk melacak para pelaku kejahatan perpajakan.