Abdul menerangkan, rendahnya tradisi menulis ini akibat rendahnya minat membaca. "Kedua kegiatan ini saling mempengaruhi. Membaca itu referensi untuk menulis. Bagaimana bisa seseorang menulis jika tidak suka membaca," terangnya. Selain itu, faktor lain yang mempengaruhi keduanya juga terletak dari proses kegiatannya. Abdul menuturkan, membaca termasuk kegiatan yang pasif dan bisa dilakukan di mana saja. Berbeda dengan menulis yang termasuk kegiatan aktif.
Promosi 3 Tahun Holding UMi BRI, Layani 176 Juta Nasabah Simpanan dan 36,1 Juta Debitur
"Kalau menulis itu orang butuh energi yang lebih ketimbang membaca karena kegiatan aktif. Kalau membaca bisa dilakukan di mana saja, bisa di rumah sambil santai atau dalam angkutan umum ketika dalam perjalanan," katanya. Saat ini, kata Abdul, banyak dosen-dosen di sejumlah perguruan tinggi, baik swasta maupun negeri yang mengeluhkan kualitas tulisan mahasiswa. "Kualitas dan kemampuan menulis mahasiswa saat ini cenderung rendah. Ini juga membuktikan bahwa, minat membaca mahasiswa sekalipun rendah," lanjutnya.
Menurut Abdul, mustahil seseorang bisa menulis kalau yang bersangkutan tidak suka membaca karena kedua kegiatan saling beriringan. Sejauh ini, lanjut Abdul, pihaknya memang belum mengantongi data pasti terkait rendanya minat membaca. Namun, kecenderungan tersebut sudah dapat diidentifikasi dari jumlah pengunjung perpustakaan perharinya dan frekuensi kunjungan.
"Perpustakaan menjadi indikator kecenderungan tersebut, selain toko buku tentunya. Karena tidak ada alasan bagi yang haus membaca, sekalipun tidak uang. Dia bisa datang ke perpustakaan misalnya," tutur Abdul. Oleh karena itu, Balai Bahasa Pusat dan sejumlah cabangnya di sejumlah daerah di Indonesia kian menggencarkan kegiatan yang dapat mendorong munculnya minat kedua kegiatan itu.
"Saat ini Balai Bahasa Pusat terus menyelenggarakan kegiatan-kegiatan, terutama untuk target usia pelajar dan mahasiswa. Tujuannya tetap sama, yaitu menanamkan minat membaca," katanya. Kegiatan tersebut mengarah pada kolaborasi kegiatan membaca dan menulis, seperti menceritakan kembali isi buku melalui tulisan, dan menanggapi pemberitaan di surat kabar dengan menuliskannya ke dalam bentuk surat. "Dari suatu kegiatan harus mencakup kedua aspek tersebut karena keduanya memang saling beriringan," tuturnya. Selain itu masyarakat Indonesia, kata Abdul, harus banyak belajar dari bangsa-bangsa lainnya yang minat membacanya sudah tinggi. "Karena membaca itu konteksnya luas. Tidak hanya membaca buku, tetapi juga membaca kondisi dan keadaan lingkungan sekitarnya," tandas Abdul.
JIBI/SOLOPOS/Ant