Esposin, JAKARTA -- Pemerintah memastikan investasi dana haji dilakukan secara hati-hati dan mengikuti ketentuan syariah hingga nantinya dikembalikan manfaatnya kepada jamaah haji. Jika tak dana haji tak diinvestasikan, bisa-bisa calon jemaah harus merogoh Rp70 juta untuk berangkat ke Tanah Suci.
Promosi 12 Pemain BRI Liga 1 Perkuat Timnas Indonesia di Kualifikasi Piala Dunia
Hal tersebut dikatakan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) seusai menerima pengurus Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) di Kantor Wakil Presiden, Selasa (1/8/2017).
Selama ini, Wapres menjelaskan bahwa bila dihitung secara normal, jemaah haji seharusnya membayar sekitar Rp70 juta untuk hitungan tahun 2017. Namun, karena biaya haji ditampung dalam mekanisme investasi, jemaah diringankan dengan hanya membayar setengahnya saja.
Dengan kata lain, selama ini pemerintah mengambil nilai manfaat yang didapatkan dari instrumen investasi dana haji yang hasilnya langsung dikembalikan ke jemaah. Karena itu, biaya haji yang dibayar jemaah jauh lebih ekonomis dari yang seharusnya.
“Maka investasi harus betul-betul baek. Investasi itu bukan kepentingannya pemerintah, kepentingan jemaah ini. Supaya dapat membayar lebih murah. Itu yang terjadi sebenarnya,” jelasnya. Selama tujuh tahun terakhir, Kementerian Agama menempatkan dana haji yang berjumlah sekitar Rp99 triliun ke dua instrumen, yakni sukuk dan perbankan syariah. Jumlah yang ditempatkan ke sukuk atau surat utang syariah tersebut nilainya cukup besar, yaitu mencapai Rp35,2 triliun.
“Karena waktu tunggunya 20 tahun, bagaimana dana yang dititipkan itu kalau dikelola dengan baik [dalam investasi] dapat membantu biaya jemaah haji. Pemerintah harus menjamin, dia harus naik haji. Berapapun,” lanjutnya.
Wapres JK menjamin pengelolaan investasi biaya haji sangat ketat dan mengacu pada UU. Syaratnya, investasi harus syariah, aman, menguntungkan, dan pilihannya pun tidak banyak. Baca juga: Fatwa Investasi Dana Haji Boleh untuk Infrastruktur.
Selain itu, pemerintah juga harus cerdas menempatkan dana investasi yang menguntungkan namun aman. Misalnya, Wapres JK menjelaskan apabila disimpan dalam instrumen giro, maka imbal hasil yang didapatkan berpotensi terpangkas oleh tingkat inflasi dan risiko nilai tukar.
“Karena ini 60% atau 70% biaya itu pakai dolar atau riyal, bukan rupiah. Jadi dua hal ini harus dijaga risikonya. Ini penuh risiko loh. Begitu nilai tukar tiba-tiba Rp20.000, misalnya, wah kalang kabut itu nanti,” ujarnya.