by Adib Muttaqin Asfar Jibi Solopos - Espos.id News - Jumat, 26 Agustus 2016 - 19:08 WIB
Esposin, JAKARTA -- Motif pembunuhan Wayan Mirna Salihin kembali diperdebatkan. Dakwaan jaksa penuntut umum (JPU) bahwa Jessica Kumala Wongso membunuh Mirna karena sakit hati memang belum dibuktikan, setidaknya di pengadilan. Motif dinilai penting untuk mendakwa Jessica melakukan pembunuhan berencana.
Saksi ahli hukum pidana dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Edward OS Hiariej, dalam kesaksiannya di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Kamis (25/8/2016) sore, menyebutkan penerapan pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana tidak mensyaratkan motif. Masalahnya, bukan hanya pengacara Jessica yang menolak pendapat itu, tapi juga salah satu hakim yang menangani kasus ini.
Adalah hakim Binsar Gultom yang menolak pendapat Edward tersebut. Dalam sidang yang tayangkan TV One dan Kompas TV itu, Binsar mempertanyakan bagaimana mungkin seseorang merencanakan pembunuhan dengan matang tanpa motif. Logika Binsar menyebut perencanaan juga bagian dari motif pembunuhan.
Adalah hakim Binsar Gultom yang menolak pendapat Edward tersebut. Dalam sidang yang tayangkan TV One dan Kompas TV itu, Binsar mempertanyakan bagaimana mungkin seseorang merencanakan pembunuhan dengan matang tanpa motif. Logika Binsar menyebut perencanaan juga bagian dari motif pembunuhan.
"Apa mungkin seorang pembunuh berencana tanpa motif?" tanya Binsar. "Sangat mungkin," jawab Edward dengan tegas.
"Lalu ada atau tidak ada motif, apakah tidak menutup kemungkinan seseorang menggunakan perencanaan yang matang? Bukankah perencanaan itu juga motif?" tanya Binsar lagi.
"Itu adalah dolus premiditatus [kesengajaan dengan rencana lebih dahulu], itu kesengajaan, itu [maksud] kata-kata di dalam konteks pasal 340 [KUHP]," jawab Edward.
Mendengar jawaban itu, hakim Binsar menganggap Edward terlalu formal dalam menerjemahkan pasal itu. Dia mencontohkan sepasang sahabat yang tiba-tiba bertengkar yang menurutnya tak mungkin terjadi tanpa sebab.
"Misalnya ada sahabat, tidak terjadi apa-apa kemudian berantem. Apakah mungkin tidak ada sebabnya? Apa tetap Saudara bertahan dengan pendapat Saudara?" tanyanya. "Saya tetap menganggap sama," jawab Edward. Baca juga: Jessica: Jika Saya Tidak Pulang, Mirna Tidak akan Mati.
Bagi Edward ketika pembunuhan itu sudah terjadi, tidak perlu menyelidiki latar belakangnya. Seandainya hendak menyelidiki motifnya, hal itu hanya untuk memperberat hukuman, bukan mempengaruhi dakwaan.
Dalam persidangan pertama beberapa 15 Juni 2016, JPU mendakwa Jessica melakukan pembunuhan berencana terhadap Mirna. Motifnya adalah sakit hati karena dirinya dinasihati oleh Mirna pada pertengahan 2015.
"Korban Mirna menasihati terdakwa agar putus saja dengan pacarnya yang suka kasar dan pemakai narkoba, serta tidak modal," kata JPU membacakan surat dakwaan saat itu. Namun, Jessica justru marah dan sakit hati serta memutus komunikasi dengan Mirna.
Dakwaan soal motif ini pernah diamini oleh suami Mirna, Arif Soemarko, berdasarkan cerita mendiang istrinya. Namun, belum ada saksi langsung terkait motif itu yang dihadirkan di persidangan. Meski demikian, ada petunjuk bahwa Jessica memang memiliki masalah setelah putus dengan pacarnya, Patrick. Baca juga: Inilah Deretan Ketidaksesuaian Pengakuan Jessica dengan Fakta Penyidikan.
Belakangan, Patrick disebut-sebut merasa terganggu dengan ancaman percobaan bunuh diri dari Jessica. Setelah mereka putus, Jessica berkali-kali mengancam akan bunuh diri. "Patrick akhirnya melapor ke kepolisian New South Wales, kemarahannya [Jessica] membuat Patrick enggak nyaman, terganggu," ungkap Saksi ahli psikiater forensik RS Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta, Natalia Widiasih, Kamis (18/8/2016).
Di kubu pengacara Jessica, belum adanya saksi atau bukti langsung yang memperkuat motif sakit hati ini menjadi alasan mereka mempertanyakan dakwaan jaksa. Tentu saja, pengacara Jessica, Otto Hasibuan, menolak pendapat jika motif tak perlu dibuktikan dalam kasus ini.