Esposin, JAKARTA -- Perpanjangan waktu penahanan terduga teroris dalam revisi UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi 20 hari bertentangan dengan Konvenan Hak-Hak Sipil dan Politik.
Promosi Berbagai Program BRI untuk Mendukung Net Zero Emission di 2050
Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam), Wahyu Wagiman, mengatakan perpanjangan waktu penahanan terduga teroris tidak proporsional karena bukan hal yang less intrusive measures. Hal itu juga bertentangan dengan pelarangan penahanan secara sewenang-wenang seperti yang tercantum di Pasal 9 ayat (1) Konvenan Hak-Hak Sipil dan Politik.
“Kalau perpanjangan masa penahanan ini disetujui, bukan tidak mungkin para terduga teroris akan menghadapi penyiksaan selama fase interogasi,” katanya di Jakarta, Selasa (2/2/2016).
Wahyu menuturkan selama ini para terduga teroris kerap menghadapi penyiksaan selama diinterogasi oleh aparat keamanan. Bahkan, banyak terduga teroris yang menghadapi kematian dalam fase tersebut seperti yang telah dilaporkan Pelapor Khusus PBB untuk Counter Terrorism Ben Emmerson.
Menurutnya, revisi UU No. 15/2003 tetap harus menjamin perlindungan hak-hak sipil para terduga teroris selama masa penahanan. Seluruh informasi terkait penahanan para terduga teroris juga harus dibuka kepada publik, karena semua pihak berhak untuk mengetahui semua informasi mengenai proses penahanan tersebut.
“Kekhawatiran lain dari revisi UU No. 15/2003 adalah penguatan upaya deteksi dini yang mengabaikan data pribadi dan privasi warga negara,” ujarnya.
Dia menyebutkan berkembangnya upaya pemberantasan terorisme secara global telah meningkatkan metode deteksi dini untuk mencegah penyebaran aksi tersebut. Sayangnya, hal tersebut juga menjadi legitimasi untuk mengawasi seluruh data pribadi dan privasi warga negara.
“Praktik ini telah membuat aparat keamanan memiliki akses luas untuk mengetahui riwayat hidup seseorang, dan melakukan kontrol terhadap pihak tertentu, dan bertindak agresif,” ucapnya.