Esposin, JAKARTA -- Pemberian beras untuk warga miskin akan diubah. Beras sejahtera (rastera, sebelumnya bernama raskin) setiap bulannya disalurkan pada 15,5 juta rumah tangga sasaran (RTS). Nantinya, seluruh penerima rastera tersebut akan menerima voucher pangan untuk dapat mengakses beras.
Promosi Kisah Perempuan Hebat Agen BRILink Dorong Literasi Keuangan di Medan
Deputi III Kepala Staf Kepresidenan, Denni Puspa Purbasari, mengatakan pergantian sistem tersebut direkomendasikan langsung oleh Presiden Joko Widodo dengan tujuan tidak hanya memberikan akses pangan pada RTS, namun juga membangun pedagang kecil dan menengah.
Denni mengatakan dengan menggunakan voucher pangan, masyarakat pun dapat memilih sumber pemasukan beras yang mereka inginkan. Kendati demikian, pemerintah akan terlebih dahulu melakukan registrasi pedagang beras dan telur yang nantinya dapat menjadi lokasi untuk menembus voucher.
Menurutnya, dengan skema tersebut, pemerintah dapat mendorong usaha rakyat dengan menggeser peran penyaluran rastera yang sebelumnya dilakukan oleh Perum Bulog. Penyaluran itu menjadi peran usaha ritel masyarakat yang langsung melayani masyarakat.
Saat dimintai konfirmasi soal pelaksana atau operator operasional voucher pangan, Denni mengatakan pemerintah masih mendiskusikan hal tersebut melalui tim independen yang telah dibentuk. Adapun, dana operasional voucher pangan menggunakan sistem yang selama ini digunakan Bulog untuk pengadaan dan penyaluran rastera.
“Jadi bukan dari anggaran baru. Sejak 2014, KPK sudah menyoroti kalau raskin itu banyak masalah dan kelemahannya baik sasarannya, waktunya, jumlahnya, administrasinya, kualitasnya. Alokasi rastera itu sekitar Rp21 triliun yang akan kita alihkan untuk ini,” jelas Denni.
Ekonom pertanian yang juga merupakan Guru Besar Unila, Bustanul Arifin, menyoroti rastera Bulog. Selama ini, rastera berkontribusi menjaga stabilitas harga beras yang merupakan bahan makanan pokok masyarakat Indonesia.
Kendati demikian, dia mengakui voucher pangan merupakan terobosan positif dari pemerintah. Menurut studi yang pernah dilakukannya, masyarakat tetap tidak menggunakan sisa uangnya untuk menabung meski hanya membeli beras hanya Rp1.600 per kilogram.
“Kita bisa lihat pada awal 2015 saat rastera terlambat, itu harga beras langsung naik 25%. Jadi kalau dialihkan menjadi voucher pangan, harus didesain bagaimana agar perubahannya tidak membuat kaget [sehingga harga naik],” ujar Bustanul.
Senada, Wakil Ketua Komisi IV DPR, Herman Khaeron pun menggarisbawahi kebijakan tersebut jangan sampai berisiko menaikkan harga beras.
“Voucher pangan ini tidak akan mungkin menggeser peran Bulog untuk menjaga harga. Karena kalau 15,5 juta RTS ini mengakses pasar, otomatis harga beras akan mengikuti harga pasar. Jangan sampai suplai nanti menjadi objek spekulan,” ujar Herman.