Esposin, JAKARTA -- Sejumlah kalangan menganggap Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) telah menyediakan ruang negosiasi untuk Ketua DPR, Setya Novanto, yang diduga melanggar etik karena mencatut nama Presiden dan Wapres dalam mufakat jahat dalam renegosiasi kontrak karya PT Freeport Indonesia.
Promosi BRI Dampingi Petani Jeruk Semboro di Jember Terapkan Pertanian Berkelanjutan
Pakar hukum dan tata negara dari Universitas Andalas Padang, Refly Harun, mengatakan ruang negosiasi itu akan terbentuk secara alami setelah MKD menggelar sidang tertutup untuk Setya Novanto. “Sidang yang digelar tertutup itu sangat mungkin dijadikan ruang negosiasi [untuk tujuan tertentu] karena tidak adanya kontrol dari publik,” katanya saat dihubungi, Senin (7/12/2015).
Selain itu, tuturnya, penyelenggaraan sidang tertutup juga berisiko memperluas spekulasi publik terhadap keterlibatan Setya Novanto dalam kasus tersebut. “Spekulasi publik akan semakin liar, karena Setya tidak berani memaparkan hal yang sebenarnya kepada publik.”
Seharusnya, Setya Novanto berani menjalani sidang secara terbuka untuk megklarifikasi tudingan terbuka berupa pelanggaran etik yang disampaikan Menteri ESDM Sudirman Said dan dikuatkan oleh pernyataan Presdir PT Freeport Indonesia, Maroef Sjamsoeddin.
Pernyataan senada diungkap oleh Sekretaris Kabinet Pramono Anung. Pram, sapaan akrabnya, mengatakan keputusan sidang tersebut digelar tertutup atau terbuka itu keputusan MKD. “Kalau [sidang] diputuskan tertutup secara luas bisa menimbulkan pertanyaan, prasangka, tanda baca yang macam-macam,” katanya.
Namun demikian, tutur Pram, penyelenggaraan sidang tertutup tersebut tidak akan mengurangi atau mempengaruhi pengetahuan publik tentang substansi kasus tersebut. “Rekaman sudah tersebar,” kata Pram yang pernah menjabat sebagai Sekretaris Jenderal PDIP.
Peneliti politik dari Forum Masyarakat Pemantau Parlemen Indonesia Lucius Karus mengatakan anggota MKD tidak seharusnya takluk kepada Setya Novanto yang diduga melanggar kode etik. “Tapi sidang tersebut aneh. Kok anggota MKD menuruti permintaan Setya Novanto. Padahal MKD bertugas menjaga marwah kehormatan dewan,” katanya.
Dengan sidang tertutup, Lucius menyimpulkan adanya kongkalikong untuk menyelamatkan kedudukan Setya sebagai Ketua DPR. “Setya punya kekuasaan penuh. Dan anggota MKD ternyata orang suruhan [Setya] yang sudah tidak otonom lagi,” katanya.
Dengan rapat tertutup, jelasnya, publik tidak punya alasan untuk mempercayai kesungguhan MKD dalam menuntaskan kasus dugaan pelanggaran etik tersebut. “Publik sudah tahu sepak terjang MKD.”
Sebelum kasus pelanggaran etik karena mencatut nama Presiden dan Wapres, MKD pernah menyidangkan Setya dalam kasus pelanggaran etik karena bertemu dengan pebisnis sekaligus kandidat calon Presiden AS Donald Trump di sela tugasnya. Pertemuan itu difasilitasi oleh Hary Tanoesoedibjo, bos MNC Group sekaligus pendiri Partai Perindo. Dalam kasus itu, MKD hanya menjatuhkan sanksi ringan berupa teguran kepada Setya Novanto dan Wakil Ketua DPR Fadli Zon.