Esposin, SOLO - Penerapan electronic voting (e-voting) atau pemungutan suara elektronik dinilai akan mengurangi nilai-nilai demokrasi karena tidak ada penghitungan surat suara secara manual di tempat pemungutan suara (TPS).
Pernyataan itu disampaikan praktisi teknologi informasi asal Gresik, Jawa Timur, yang menggagas Kawal Pemilu, Ainun Najib, saat ditemui Promosi
12 Pemain BRI Liga 1 Perkuat Timnas Indonesia di Kualifikasi Piala Dunia
“Secara teknis penerapan sistem e-voting itu gampang. Di India yang menjadi negara demokrasi terbesar di dunia sudah lama menerapkan e-voting. Di India itu banyak daerah terpencil dengan masyarakat yang belum terdidik ternyata bisa melaksanakan e-voting,” ujar konsultas senior teknologi informasi yang kini tinggal di Singapura itu.
Menurut Ainun, kunci pelaksanaan e-voting itu tergantung pada kebijakan pemerintah. Kalau aturan pemilunya berbeda-beda maka program itu tidak bisa terlaksana dengan baik. Ainun menilai dengan penerapan e-voting akan mempercepat pelaksanaan pemungutan suara. Namun dampak negatifnya, terang dia, nuansa demokrasi dalam pemilu menjadi berkurang. “Saya sebenarnya tidak merekomendasikan e-voting. Tetapi, saya lebih merekomendasikan tabulasi elektronik (e-tabulasi). Rekapitulasi bisa dilakukan di tingkat TPS atau kelurahan dan langsung terkumpul ke pusat. Jadi pada hari H pemungutan suara itu sudah diketahui hasil pemilu. Nuansa demokrasi seperti penghitungan surat suara yang dibacakan petugas masih dipertahankan,” papar dia.
Terpisah, akademisi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, Ahmad Romdhon, saat ditemui secara terpisah mengatakan untuk mendukung program e-voting harus ada tiga hal yang yang perlu disiapkan pemerintah, yakni database pemilih, infrastruktur (perangkat), dan akses masyarakat. Menurut dia, uji coba e-voting di tiga desa di Kabupaten Boyolali tidak bisa dijadikan ukuran keberhasilan e-voting dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) Boyolali dengan jumlah pemilih yang jauh lebih besar.