by Latif Ghufron Aula - Espos.id News - Senin, 28 Februari 2022 - 07:56 WIB
Esposin, SOLO — Pamali merupakan pantangan atau larangan yang biasa diyakini masyarakat sebagai mitos. Salah satu pamali yang berada di Tanah Air yaitu pamali Suku Banjar yang masih dipercaya masyarakt adat sampai sekarang.
Pamali Banjar bukan hanya berisi larangan dan aturan. Tetapi juga terdapat konsekuensi dari orang yang melanggar pamali tersebut. Orang tua Banjar biasa menggunakan pamali kepada anak dan cucuknya. Pamali ini digunakan untuk mengontrol tingkah laku dan membentuk pribadi sesuai budaya dan adat istiadat yang dipegang teguh.
Hasil penelitian yang diterbitkan dalam bentuk artikel jurnal karya Sri Wahyu Nengsih berjudul Sakit Akibat Melanggar Pamali Banjar Dalam Kepercayaan Masyarakat Banjar, menjelaskan pamali tersebut. Dikutip Esposin, Senin (28/2/2022), dijelaskan bahwa warga petaka dari pelanggar pamali bukan hanya menimpa warga Suku Banjar yang sudah dewasa, tetapi juag anak-anak.
Baca juga: Tahukah Kamu? Ada Doa yang Dianjurkan Dibaca Orang Tua Saat Anak Sunat
Salah satu akibat melanggar pamali bagi anak-anak Suku Banjar yakni bekas luka sunat/khitan tidak kunjung sembuh. Pamali Banjar itu berbunyi 'Kakanakan imbah basunat pamali kaluar rumah, kaina lambat waras' yang bermakna anak-anak yang baru dikhitan jangan keluar rumah, nanti tidak cepat sembuh.
Pamali tersebut menunjukkan larangan kepada anak-anak yang setelah dikhitan agar tidak keluar rumah. Hal itu dikarenakan bekas khitan dapat terinfeksi kuman jika sang anak keluar rumah.
Baca juga: Pamali Suku Banjar: Bakar Terasi pada Malam Jumat, Bisa Didatangi Jin
Rasa perhatian orang tua terhadap anak yang baru dikhitan membuat pamali Suku Banjar ini perlu disampaikan sejak dini. Sementara anak-anak yang habis dikhitan sebaiknya berisitrahat di rumah dan tidak keluar rumah, apalagi untuk bermain.
Di sisi lain, pamali juga mengajarkan kepada anak untuk bermain di tempat-tempat yang baik. "Orang tua memberi bekal pengarahan kepada anak di tempat-tempat yang baik dan tidak berbahaya," demikian penjelasan Sri Wahyu Nengsih dalam artikel jurnal tersebut.