Masyarakat yang awalnya kerap berkonsultasi dengan pemuka agama kini memilih mencari informasi keagamaan lewat media sosial. Dengan fasilitas Internet tersebut, masyarakat cenderung menganggap otoritas pemuka agama sebagai pilihan alternatif.
Promosi Berbagai Program BRI untuk Mendukung Net Zero Emission di 2050
“Dengan fasilitas Internet ini, masyarakat cenderung menganggap otoritas agama seperti kiai, ustaz, guru, guru agama yang tradisional hanya pilihan alternatif belaka dari kehidupan sehari-hari mereka. Berbeda dengan generasi sebelumnya yang sangat taat kepada fatwa kepala otoritasnya,” ujarnya seperti dikutip dari Detik.com, Kamis (14/11/2019).
Pernyataan tersebut disampaikan Fachrul Razi berdasarkan data yang diterbitkan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) 2019. Fachrul Razi menambahkan, sebagian masyarakat menjawa rasa ingin tahu soal agama lewat Internet yang memicu munculnya beragam penfsiran.
“Mereka berkonsultasi dengan berbagai sumber untuk memenuhi kehausan agamanya. Sering kali kita mendengarkan tafsir-tafsir agama mainstream dikalahkan oleh pilihan-pilihan personal bersumber dari yang bukan otoritas. Tapi mungkin demi memenuhi akal sehat mereka," ucap Fachrul Razi.
Kondisi tersebut memicu munculnya masyarakat yang intoleran dan rentan terpapar radikalisme. Bisa juga menimbulkan masyarakat super-toleran yang mengganggu sendi-sendi beragama.
“Akibatnya, pemikiran keagamaan sebagian besar kita, cenderung intoleran dan mudah terpapar ideologi radikal ekstrem. Atau sebaliknya jadi super-toleran yang mengganggu sendi-sendi beragama,” sambungnya.