Esposin, JAKARTA -- Mahkamah Agung membuat putusan yang membuat heboh publik yakni memberi diskon hukuman kepada empat terpidana kasus pembunuhan Brigadir Yosua Hutabarat, Ferdy Sambo dkk.
Komisi Yudisial sebagai lembaga negara pengawas perilaku hakim menyatakan tidak bisa mengomentari putusan Mahkamah Agung itu.
Promosi Lestarikan Warisan Nusantara, BRI Dukung Event Jelajah Kuliner Indonesia 2024
Seperti diketahui, hukuman Ferdy Sambo diturunkan dari vonis mati menjadi penjara seumur hidup.
Istri Sambo, Putri Candrawathi tak perlu menghuni penjara 20 tahun karena hukumannya diturunkan menjadi 10 tahun penjara.
Ajudan Sambo, Ricky Rizal juga tak luput mendapat korting hukuman dari 13 tahun penjara menjadi delapan tahun.
Terakhir, orang kepercayaan Sambo, Kuat Ma'ruf dihukum 10 tahun penjara dari pidana awal 15 tahun.
Terkait obral diskon hukuman ini, KY yang sejak awal memantau kasus pembunuhan Brigadir Yosua tak bisa berkomentar.
"KY memonitor perkara ini dari awal. Namun, terkait putusan, sebaiknya penjelasan dimintakan kepada MA karena MA kan yang mengadili dan memutus perkara ini,” kata Juru Bicara Komisi Yudisial (KY) Miko Ginting dihubungi wartawan dari Jakarta, Rabu (9/8/2023).
Miko menyebut MA lebih berwenang untuk memberikan penjelasan terkait putusan kasasi Ferdy Sambo dkk.
Namun demikian, Miko menegaskan bahwa KY telah memonitor perkara tersebut sejak awal.
"Saya kira sebaiknya minta penjelasan MA karena MA yang memutus perkara ini," imbuh dia.
Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud Md menyebut putusan MA terhadap permohonan kasasi terdakwa pembunuhan berencana Brigadir Yosua Hutabarat, Ferdy Sambo sudah final.
"Menurut saya seluruh pertimbangan sudah lengkap dan kasasi itu sudah final," kata Mahfud MD di Kampus Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Sleman, Rabu (9/8/2023).
Menurut Mahfud, tidak ada upaya hukum lain yang dapat ditempuh kejaksaan atau pemerintah pascaputusan MA yang mengubah hukuman Ferdy Sambo dari hukuman mati menjadi pidana penjara seumur hidup.
Menurut Mahfud, yang boleh melakukan upaya peninjauan kembali (PK) hanyalah para terpidana.
Jika terpidana sudah menerima hukuman akhir dari MA tersebut maka proses hukum berkekuatan tetap alias inkrah.
"Seumpama negara boleh melakukan upaya hukum itu ya kita lakukan tapi di dalam sistem hukum kita, kalau hukum pidana sampai kasasi itu jaksa atau pemerintah tidak boleh PK. Yang boleh PK itu hanya terpidana," kata dia seperti dikutip Esposin dari Antara.
Sedangkan pengajuan PK oleh terpidana, lanjut Mahfud, harus memiliki novum atau surat bukti yang tidak pernah dikemukakan sebelumnya di persidangan.
"Novum itu bukan peristiwa baru sesudah diadili, oleh sebab itu mari kita terima, masyarakat supaya tenang. Persoalan hukum di negara kita masih banyak," ujar Mahfud.
Menkopolhukam meminta seluruh pihak mengawal putusan MA tersebut agar tidak ada permainan hukum yang dapat mempengaruhi vonis Ferdy Sambo yang sudah berkekuatan hukum tetap atau inkrah.
"Mudah-mudahan tidak ada 'kongkalikong' permainan lagi, nanti di PK lalu diturunkan lagi sehingga lalu diremisi, dan itu bisa saja terjadi," ujar Mahfud.
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) itu menegaskan remisi atau pengurangan masa hukuman tidak berlaku bagi terpidana penjara seumur hidup.
Pemberian remisi, jelas Mahfud, selalu bergantung pada persentase, sedangkan persentase berdasar pada angka atau lama masa hukuman yang tidak dijumpai pada hukuman seumur hidup.
"Oleh sebab itu jangan lagi ada permainan untuk mengubah dengan upaya yang dicari-cari lalu menjadi angka. Nah kalau angka itu bisa dikurangi setiap tahun. Jadi kalau seumur hidup dan hukuman mati enggak ada remisi," kata dia.
Meski demikian, kata Mahfud, pengurangan masa hukuman terpidana seumur hidup masih memungkinkan ditempuh melalui permohonan grasi atau pengampunan dengan syarat mengakui kesalahannya.
"Harus mengakui kesalahannya. Saya salah, hukumannya sudah benar, tapi saya minta grasi. Kalau mengaku tidak salah mau minta grasi, tidak bisa grasi. Tidak salah kok minta grasi," ucap Mahfud.