by Eni Widiastuti Jibi Solopos - Espos.id News - Minggu, 8 Maret 2015 - 10:30 WIB
Esposin, SOLO -- Rumah sakit-rumah sakit swasta di Kota Solo terpaksa menombok biaya tindakan bedah pasien peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Pasalnya, tarif paket bedah yang ditentukan Badan Penyelanggara Jaminan Sosial (BPJS) tidak sesuai dengan kebutuhan rumah sakit swasta.
Direktur Rumah Sakit Kasih Ibu Solo, dr Sugandi Hardjanto SpB mengungkapkan selama ini biaya paket bedah yang ditentukan BPJS, ditetapkan seragam antara rumah sakit negeri dan rumah sakit swasta.
Padahal, rumah sakit swasta harus berpikir untuk membayar pegawai, membeli alat, biaya perawatan dan penyusutan barang.
Padahal, rumah sakit swasta harus berpikir untuk membayar pegawai, membeli alat, biaya perawatan dan penyusutan barang.
“Kalau rumah sakit negeri tidak terbebani dengan itu semua. Padahal tarif disamakan. Jadi kalau dihitung-hitung, terutama bidang bedah, rumah sakit swasta harus tombok,” terangnya kepada wartawan di sela-sela acara simposium medis bertema Tata Laksana Bedah Terkini dalam Era JKN yang digelar Rumah Sakit Kasih Ibu Solo di Adhiwangsa Convention Hall Solo, Sabtu (7/3/2015).
Simposium itu digelar dalam rangka memperingati Hari Ulang Tahun Rumah Sakit Kasih Ibu ke-34. Bukan hanya Rumah Sakit Kasih Ibu Solo, ungkap Sugandi, hal itu juga dialami rumah sakit swasta lainnya.
Menanggapi hal itu, Kepala Departemen BPJS Kesehatan Divere VI Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta, dr. Veronica M. Susilowati M.Kes mengungkapkan jika tarif paket biaya kesehatan yang sudah ditetapkan dirasa tidak sesuai, rumah sakit swasta bisa mengajukan usulan ke Kementerian Kesehatan selaku penentu tarif kesehatan, untuk memperbaiki tarif yang ada.
Tarif Kesehatan
Sesuai aturan, tarif kesehatan bisa ditinjau kembali maksimal dalam waktu dua tahun.
“Jadi tarif yang sekarang ada itu bukan harga mati. Kalau ada usulan, ada pelung untuk berubah,” jelasnya.
Veronica juga mengungkapkan jumlah total klaim BPJS di wilayah Jawa Tengah dan DIY selama tahun 2014 sebanyak Rp7,5 triliun. Tahun ini, BPJS wilayah Jateng dan DIY diberi anggaran Rp9,5 triliun untuk periode setahun. Padahal, pemerintah menargetkan kenaikan jumlah peserta BPJS sebanyak 30%.
Berdasarkan data, ungkapnya, jumlah peserta BPJS di Jawa Tengah hingga akhir 2014 sebanyak 20,6 juta. Jumlah tersebut melebihi target yang ditentukan sebelumnya yaitu 20,4 juta orang.
Ia juga berharap peran aktif badan usaha yang ada untuk mendaftarkan karyawannya sebagai peserta BPJS. Pasalnya hingga kini, masih banyak badan usaha yang belum mendaftarkan karyawannya. “Maksimal 1 Juli 2015, semua badan usaha wajib sudah mendaftarkan karyawannya,” ujarnya.