Esposin, JAKARTA -- Menurut jadwal, pada Selasa (23/5/2017), Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan akan membacakan putusan gugatan praperadilan atas penetapan status tersangka kepada Miryam S Haryani dengan tergugat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Promosi Berbagai Program BRI untuk Mendukung Net Zero Emission di 2050
Juru Bicara KPK Febri Diansyah mengatakan pihaknya siap mendengarkan putusan tersebut. KPK, lanjutnya optimistisis bahwa semua jawaban beserta bukti-bukti yang disampaikan dalam persidangan akan diterima oleh hakim.
“Dalam kesimpulan yang telah disamapikan hari Jumat pekan lalu, telah disampaikan sejumlah argumentasi hukum yang didukung oleh sekitar 30 bukti,” paparnya, Senin (22/5/2017).
Kepala Biro Hukum KPK Setiadi mengatakan gugatan pemohon yang menyatakan bahwa KPK tidak berwenang menyidik pemberian keterangan palsu berdasarkan pasal 22 UU No. 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, adalah tidak betul. Sedangkan pasal 22, lanjutnya, menyatakan KPK berwenang melakukan penyidikan terhadap kasus lain yang masih berkaitan dengan proses pemberantasan korupsi.
Dalam UU No. 30/2002 tentang KPK, khususnya pada pasal 6 huruf c, komisi itu memiliki tugas dan kewenangan melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi. Sehingga seluruh tindak pidana yang diatur dalam UU Tipikor yang merupakan tindak pidana korupsi maka menjadi kewenangan KPK.
“Termohon memiliki kewenangan untuk melakukan penyelidikan, penyidikan bahkan penuntutan terhadap pasal 22 UU Tipikor,” paparnya dalam persidangan.
Penggunaan pasal ini, lanjutnya, juga kerap digunakan oleh KPK dalam kasus-kasus lainnya seperti Muchtar Ependy pada 10 Juni 2015, Romi Herton pada 17 Juni 2015, Budi Anton Aljufri, dan Said Faisal Muchlis.
Dia juga mengungkapkan pemohona salah kaprah dengan menyatakan bahwa KPK menjerat kliennya berdasarkan pasal 174 KUHAP. Pasalnya, penyidikan terhadap Miryam S. Haryani dilakukan berdasarkan pasal 22 UU Pemberantasan Tipikor dengan dugaan memberikan keterangan tidak benar.
Penggunaan pasal 174 KUHAP, lanjutnya, memiliki korelasi dengan pasal 242 KUHP sementara dalam pidana korupsi, dugaan pemberian keterangan tidak benar atau palsu diatur dalam pasal 20 jo Pasal 35. Pasal 20 itu, paparnya, memiliki cakupan yang lebih luas dari pasal 242 KUHP karena sesuai dengan latar belakang dibentuknya UU Pemberantasan Korupsi yang menyatakan bahwa kasus korupsi merupakan tindak kriminalitas yang luar biasa.
Sementara itu, terkait tudingan pemohon bahwa KPK tidak memiliki alat bukti yang cukup dalam menetapkan Miryam S Haryani sebagai tersangka, menurut Setiadi hal itu tidak berdasar. KPK jelas memiliki alat bukti seperti keterangan tertulis yang tertuang di dalam bukti acara pemeriksaan, keterangan saksi, serta rekaman pemeriksaan terhadap terdakwa sewaktu masih berstatus sebagai saksi kasus korupsi e-KTP.
Miryam ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK dengan tudingan memberikan keterangan tidak sebenarnya setelah dia mencabut bukti acara pemeriksaan (BAP) dalam persidangan korupsi pengadaan e-KTP dengan alasan ditekan oleh penyidik. Dalam salah satu persidangan, jaksa membuka rekaman pemeriksaan dan terlihat tidak terlihat unsur penekanan terhadap politikus Partai Hanura tersebut.