Esposin, SUKOHARJO -- Selesai dengan trilogi Jailolo, koreografer Solo Eko "Pece" Supriyanto kembali menggarap karya baru berdasarkan pada kebudayaan ujung Timur Indonesia. Kali ini ia bakal menciptakan tarian yang sepenuhnya terinspirasi dari gerakan Tari Likurai dan tenun Belu, Nusa Tenggara Timur (NTT).
Promosi Berbagai Program BRI untuk Mendukung Net Zero Emission di 2050
Saat berbincang dengan Mengawali project-nya Eko bersama ISI Solo dan pemerintah setempat mengadakan Festival Fulan Fehan bertepatan dengan Hari Sumpah Pemuda 28 Oktober lalu. Tarian massal yang melibatkan ribuan penari tersebut bahkan berhasil memecahkan rekor dunia. “Kalau yang festival Fulan Fehan itu MOU antara ISI Solo dengan Belu dalam project tourism, dan rencananya bakal menjadi festival tahunan di sana. Setelah itu saya baru memulai project pribadi saya dalam trilogi tari kontemporer soal migrasi tubuh,” kata dia. Narasi Likurai
Sama halnya dengan Jailolo, karya Likurai bakal dibuat dalam bentuk trilogi. Karya pertama berupa lecture performance yang melibatkan satu sesepuh Belu dan penari muda. Tak hanya menari mereka juga bakal mengupas sejarah Likurai dan tenun yang seolah menjadi bagian penting dari masyarakat setempat. Karya kedua berupa tarian tunggal yang mengangkat soal migrasi tubuh dan perbatasan bertajuk Body of Border. Body of Border yang gerakannya merupakan hasil eksplorasi gerakan Likurai dan tenun Belu ini membahas permasalahan tubuh di perbatasan, identitas kewarganegaraan, warna kulit, hingga rasisme. Tak seperti Jailolo yang melibatkan anak-anak muda, kali ini Eko mengajak sesepuh daerah setempat untuk menguatkan narasi sejarah. Hal itu dia gambarkan pada karya ketiga yang bakal melibatkan lima ibu-ibu penari Belu.
Eko mengatakan project ini digarap setelah melakukan riset hampir satu tahun. Latihan trilogi Likurai baru dimulai tahun depan. Sementara penampilan perdananya dibuka dengan karya pertama di Sidney 2019. “Ini project-nya bisa sampai empat lima tahun ke depan. Sejarah Likurai perlu saya tekankan karena menyangkut tradisi lisan dan visual. Seperti kebiasaan ibu-ibu disana yang sampai membuat tato di tangan mereka dengan tenun Belu untuk menghafal motifnya,” kata dia.