Esposin, JAKARTA -- Kepala Departemen Politik dan Perubahan Sosial Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Arya Fernandes menilai koalisi besar rentan berubah oleh sejumlah faktor.
Salah satu yang berpotensi mengubah koalisi besar itu adalah PDIP.
Promosi Agen BRILink Mariyati, Pahlawan Inklusi Keuangan dari Pulau Lae-lae Makassar
“Misalnya saja jika ada manuver-manuver politik yang dilakukan oleh PDIP, misalnya membangun komunikasi yang serius dengan salah satu atau dua partai dalam koalisi besar hingga akhirnya berkoalisi, pasti akan mempengaruhi koalisi besar,” kata Arya dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Kamis (13/4/2023).
Arya juga melihat keberadaan Presiden Republik Indonesia Joko Widodo (Jokowi) sebagai magnet dari koalisi tersebut juga dapat menjadi penyebab kerentanan selanjutnya.
Menurutnya, Jokowi menjadi magnet pembentuk dan perekat serta jangkar koalisi.
Ketika interest Jokowi berubah maka hal itu akan mempengaruhi koalisi besar.
Seperti diketahui, wacana pembentukan koalisi besar untuk Pemilu 2024 oleh Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) dan Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (KKIR) muncul setelah silaturahmi para ketua umum parpol bersama Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Kantor DPP PAN, Jakarta, Minggu (2/4/2023).
Partai yang bertemu saat itu adalah Partai Gerindra, PKB, Golkar, PAN, dan PPP
Arya Fernandes melihat gagasan pembentukan koalisi besar itu dimunculkan untuk mengatasi kebuntuan dan/atau kerumitan di dalam KIB dan KKIR.
Menurut Arya, kebuntuan yang terjadi dalam satu tahun terakhir itu bersumber dari ketidakpastian soal kandidat capres-cawapres oleh dua koalisi politik tersebut.
“Problem atau kerumitan itu tampak dari tidak adanya kepastian soal siapa yang akan didukung baik oleh KIB maupun KKIR, tidak ada perkembangan yang signifikan dalam setahun terakhir, dan juga tidak ada mekanisme yang disepakati dalam penentuan capres-cawapres,” ujarnya.
Arya melihat keberadaan Presiden Jokowi menjadi krusial karena berperan sebagai jangkar dan magnet pembentuk serta perekat perbedaan di antara parpol anggota KIB dan KKIR.
Jokowi dianggap bisa mempertemukan kepentingan-kepentingan politik yang berbeda di antara partai politik tersebut.