Esposin, JAKARTA -- KPK masih mendalami Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan keterangan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) terkait penyelidikan pembelian lahan RS Sumber Waras seluas 3,64 hektare.
Promosi 3 Tahun Holding UMi BRI, Layani 176 Juta Nasabah Simpanan dan 36,1 Juta Debitur
Menurut Wakil Ketua KPK Laode M Syarif di Gedung KPK Jakarta, Jumat (15/4/2016), pihaknya telah meminta keterangan Ahok pada Selasa (12/4/2016) selama lebih dari 12 jam.
Seusai dimintai keterangan, Ahok menyebutkan BPK menyembunyikan data kebenaran, karena meminta Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk melakukan sesuatu yang tidak bisa dilakukan yaitu membatalkan transaksi pembelian lahan RS Sumber Waras.
Setidaknya ada lima perbedaan antara LHP BPK dan keyakinan Ahok, yaitu:
1. Kerugian negara Versi BPK: Pembelian lahan seluas 3,64 hektare itu merugikan keuangan negara sebesar Rp191 miliar. Alasannya, setahun sebelumnya, tanah itu ditawar oleh PT Ciputra Karya Utama sebesar Rp564 miliar. Versi Ahok: Tawaran PT Ciputra tersebut terjadi ketika nilai jual obyek pajak (NJOP) belum naik pada 2013. Pada 2014, NJOP naik 200 persen.
2. Nilai NJOP Versi BPK: Seharusnya basis pembelian adalah NJOP memakai Jl. Tomang Utara (sebagai lahan baru yang dibeli Pemprov DKI Jakarta) yaitu Rp7 juta per meter persegi, bukan Jl. Kyai Tapa sebesar Rp20 juta yang saat ini menjadi lokasi RS Sumber Waras. Versi Ahok: Penentu NJOP Sumber Waras adalah Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan yang menyebutkan pajak lahan itu mengikuti NJOP Jl. Kyai Tapa.
3. Kajian Pembelian RS Sumber Waras Versi BPK: Tidak ada kajian pembelian RS Sumber Waras. Menurut BPK, Pemprov DKI Jakarta terburu-buru membeli lahan itu padahal lokasinya tidak strategis, belum siap bangun, langganan banjir, dan tidak mudah diakses. Versi Ahok: Jakarta sedang butuh banyak RS termasuk RS khusus kanker, bahkan belakangan pihak Yayasan Sumber Waras lah yang menawarkan lahan itu.
4. Penunjukan Lahan RS Sumber Waras Versi BPK: Pemprov DKI Jakarta menunjuk langsung lokasi RS Sumber Waras. Versi Ahok: Dalam Peraturan Presiden No 40 Tahun 2014 soal pengadaan tanah, pembelian lahan di bawah lima hektare bisa dilakukan secara langsung tanpa perlu kajian.
5. Status Lahan Masih Sengketa Versi BPK: Transaksi pembelian tanah antara Yayasan Sumber Waras dan Pemprov DKI Jakarta terjadi saat yayasan masih terikat Akta Perjanjian Perikatan Jual Beli (APPJB) tanah yang sama dengan PT Ciputra Karya Utama. Versi Ahok: Dalam perjanjian yayasan dan PT Ciputra Karya, ada klausul yang menyebutkan jika sampai 10 Desember 2014 izin peralihan lahan untuk pusat perbelanjaan dari pemerintah tidak turun, otomatis perjanjian batal dan transaksi terjadi setelah tanggal tersebut.
Lalu, bagaimana penilaian KPK? Lembaga antirasuah itu masih mendalami keterlibatan Ahok sebelum diputuskan apakah layak ditetapkan sebagai tersangka korupsi pembelian lahan RS Sumber Waras atau tidak. Wakil Ketua KPK Saut Situmorang mengungkapkan pihaknya masih mendalami hasil pemeriksaan Ahok untuk mencari bukti baru.
"Masih belum ada bukti baru. Karena tim masih bekerja. Masih perlu dikaji apa ada unsur pidana korupsi atau tidak," katanya saat berada di Pekanbaru, Rabu (13/4/2016).
Namun, menurut Saut, bisa saja Ahok lolos dari tindak pidana korupsi. Bisa saja kebijakan yang dikeluarkannya merupakan langkah efisiensi.