Esposin, JAKARTA -- Para duta besar Indonesia di luar negeri harus bisa menjelaskan ke pejabat di negara penempatannya soal kebijakan hukuman mati yang diterapkan Indonesia, kata Presiden Jokowi di Jakarta, Senin (2/12/2015), seperti dikutip dari Antara.
Promosi UMKM Binaan BRI, Minimizu Bawa Keunikan Dekorasi Alam ke Pameran Kriyanusa 2024
"Dubes kita harus bisa menyampaikan secara baik kenapa hukuman mati itu dilakukan," kata Presiden Jokowi, seusai membuka Rapat kerja Pimpinan Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) dengan Kepala Perwakilan Indonesia di luar negeri.
Selasa (3/2/2015) pekan lalu, Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam), Tedjo Edhy Purdijatno, mengatakan penolakan grasi oleh pemerintah yang bermuara kepada pelaksanaan hukuman mati kepada pengedar narkotika dilakukan untuk memberi efek jera.
"Presiden akan tetap menolak permohonan grasi terhadap terpidana mati kasus narkotika. Ini sebagai bentuk efek jera," kata Menkopolhukam.
Langkah selanjutnya yakni mempercepat proses hukum bagi tersangka lainnya, termasuk yang sudah inkracht. Hal ini untuk memberikan kepastian hukum. Sebab, Presiden Jokowi telah menegaskan untuk memerangi narkotika dan mencanangkan bebas narkotika.
"Jadi, proses hukumnya nanti akan dipercepat. Sehingga, penggedar tidak lagi bisa masuk ke Indonesia karena hukuman yang diterapkan sangat tegas," ujarnya.
Kemudian, bagi pengguna narkotika, pemerintah akan melakukan proses rehabilitasi. Sehingga, antara pengedar dan pengguna akan dibedakan. Penegak hukum pun diperkuat integritasnya melalui kerjasama sehingga pemberantasan narkotika akan lebih fokus.
Selain mendapatkan reaksi keras dari luar negeri, eksekusi hukuman mati masih mendapat tantangan dari dalam negeri. Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) meminta Jaksa Agung menunda untuk sementara rencana eksekusi terpidana mati gelombang kedua yang akan dilakukan bulan ini.
Direktur Eksekutif ICJR, Supriyadi Eddyono, mengatakan Jaksa Agung harus menunggu upaya pengajuan peninjauan kembali yang dilakukan oleh para terpidana mati. Pasalnya, peninjauan kembali merupakan proses hukum yang menjadi hak dari para terpidana mati yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
"Eksekusi terpidana mati juga harus menunggu proses legislasi RUU KUHP yang secara normatif ingin membatasi hukuman mati secara sistematis, dan menggantinya dengan pembatasan hukuman mati sebagai alternatif," katanya di Jakarta, Minggu (1/2/2015), seperti dilaporkan Esposin sebelumnya.