Esposin, JAKARTA -- Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) memandang perempuan dan anak adalah kelompok yang paling rentan menjadi korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO).
"Mereka biasanya diperdagangkan menjadi tenaga kerja, dipaksa menikah, atau dipaksa dalam prostitusi. Anak-anak yang menjadi korban seringkali diperdagangkan melalui adopsi ilegal," kata Asisten Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan Pekerja dan TPPO KemenPPPA Prijadi Santoso dalam media talk bertema "Perempuan Merdeka dari Ancaman Tindak Pidana Perdagangan Orang", di Jakarta, Kamis (1/8/2024).
Promosi Kisah Klaster Usaha Telur Asin Abinisa, Omzet Meningkat Berkat Pemberdayaan BRI
Menurut Prijadi Santoso, kerentanan perempuan dan anak dalam isu ini disebabkan karena ketidaksetaraan gender.
Perempuan dan anak perempuan memiliki akses yang sangat terbatas ke sumber daya penting seperti informasi, pendidikan, tanah, dan kesempatan kerja, sehingga membuat mereka lebih miskin.
"Sedangkan kemiskinan merupakan salah satu risiko utama migrasi dan TPPO," katanya seperti dilansir Antara.
Prijadi Santoso juga mengatakan bahwa kemiskinan, sulitnya mendapat pekerjaan, dan rendahnya keterampilan membuat masyarakat sulit untuk mendapatkan penghasilan untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Hal ini juga ditambah dengan semakin menjamurnya budaya hidup konsumtif dan serba instan yang mengakibatkan masyarakat termasuk anak-anak ingin memperoleh uang atau barang mahal dalam waktu cepat meskipun dengan cara-cara berbahaya, termasuk TPPO.
Tindak pidana perdagangan orang merupakan jenis kejahatan terhadap kemanusiaan yang merampas harkat dan martabat manusia.
Pihaknya berujar hal ini disebabkan karena kompleksitas dalam kasus TPPO yang membuat pemerintah Indonesia menghadapi banyak tantangan.
"Banyaknya jumlah korban ini disebabkan karena Indonesia merupakan negara asal, negara tujuan, dan juga negara transit TPPO," kata Prijadi Santoso.