BANTUL—Sejumlah pelaku usaha ekonomi produktif di Bantul mengaku khawatir dengan semakin mahalnya bahan baku.
Promosi Lestarikan Warisan Nusantara, BRI Dukung Event Jelajah Kuliner Indonesia 2024
Perajin batik kayu Mangku Wibowo, 47, di Desa Wisata Krebet, Sendangsari, Pajangan mengaku gelisah karena harga bahan baku kayu Sengon terus naik. ”Dulu Rp100.000, sekarang melambung hingga Rp700.000,” ujarnya kepada wartawan beberapa waktu lalu.
Usaha Mangku dan 40 perajin batik kayu lainnya dimulai pada 2000. Awalnya ia hanya mengukir kayu, tapi semenjak ada pesanan batik kayu, dia mulai fokus membuat dan memamerkan produk kerajinannya melalui berbagai macam pameran.
Karena pesanan cukup banyak, dia kemudian merekrut enam karyawan. Produknya tidak hanya dijual di dalam pulau saja, tapi hingga luar pulau. Harga termurah produknya Rp3500, sedangkan paling tinggi seharga Rp5000. Dalam sebulan omzetnya mencapai Rp15 juta. Namun kini dia mengaku was-was dengan semakin tingginya harga bahan baku.
”Semoga saya tetap bisa membantu warga mendapatkan pekerjaan, terutama yang menganggur,” katanya.
Kondisi hampir sama juga dialami oleh pembuat peyek 4,5 Skala Richter, Triyono, 39, warga Mandingan, Ringinharjo, Bantul. Dengan membuat peyek omzet bersihnya mencapai Rp5 juta. Namun karena semakin tingginya harga kacang tanah dari Rp7000 menjadi Rp14.000, omzetnya terus berkurang tinggal Rp2,5 juta saja. Jumlah tenaga kerja yang tadinya ada delapan kini tinggal separuhnya saja.
Kepala Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Bantul, Slamet Bagyo mengaku pihaknya memahami hal itu. Dia berencana berkoordinasi dengan Pemerintah Kabupaten Bantul agar memberikan pendampingan usaha ekonomi produktif.
“Kerja sama juga akan kami lakukan dalam membina jiwa entreprenur dalam pendidikan formal,” katanya. Menurut dia, dengan jumlah penduduk sekitar 900.000 jiwa setidaknya 7% di antaranya adalah wiraswasta, tapi sekarang ini baru 5% saja.(JIBI/HARIAN JOGJA/Andreas Tri Pamungkas).