Ekspedisi Antartika, Indonesia memiliki wakil masuk dalam tim tersebut.
Harianjogja.com, SLEMAN -- Peneliti Universitas Gadjah Mada (UGM), Nugroho Imam Setiawan, telah menuntaskan misi mengeksplorasi Antartika yang telah berlangsung selama empat bulan. Dia punya segudang cerita yang jarang ditemui di belahan Bumi lainnya.
Promosi 3 Tahun Holding UMi BRI, Layani 176 Juta Nasabah Simpanan dan 36,1 Juta Debitur
Baca Juga : PENELITIAN ILMIAH : Geolog Muda UGM Ikuti Ekspedisi Antartika, Kuak Misteri Evolusi Bumi
Nugroho Imam Setiawan, akhirnya pulang dari pengembaraannya Antartika. Dia bergabung dalam tim peneliti yang dibentuk sekumpulan ilmuwan Jepang. Nugroho kebagian jatah mengobservasi cuaca harian di benua yang paling sepi dari keriuhan manusia.
“Kami melakukan survei geologi selama 30 hari. Kadang cuaca buruk sehingga kami harus menunggu di kapal. Di tim ini ada pembagian tugas dan tugas saya adalah observasi cuaca harian,” kata dia ketika berbagi cerita dengan sejumlah wartawan di Ruang Sidang Rektorat UGM, Rabu (29/3/2017) sore.
Nugroho dan tim beranggotakan 80 orang harus bertahan dalam dinginnya suhu Benua Abu-Abu untuk mengetahui lebih dalam tentang pembentukan dan perkembangan Bumi. Di luar urusan pengetahuan ilmiah tersebut, ada kebutuhan sehari-hari yang harus dipenuhi secara teliti dan hati-hati.
Di benua yang kerap disebut sebagai ujung dunia itu, buang air bukan hal ihwal sepele. Kantong plastik punya peran yang sangat penting dalam sistem sanitasi. Para peneliti tidak boleh meninggalkan kotoran apapun di lokasi penelitian. Dalam situasi itulah kantong plastik punya peran penting. Ketika tiba-tiba tak bisa menahan buang hajat saat menjalankan observasi, feses yang ditinggalkan harus dibungkus plastik.
Kutub Selatan adalah wilayah yang sangat ekstrem bagi kehidupan. Tidak ada bakteri pengurai yang mampu hidup karena temperatur kelewat dingin. Feses tidak akan hancur di Antartika yang selalu dirungkupi es.
“Kalau ditinggalkan, kasihan peneliti berikutnya karena akan menemukan kotoran yang kami tinggalkan,” ujar pria yang panggilan sehari-harinya Iwan itu.
Bungkusan kotoran itu kemudian dibawa ke basecamp. Iwan dan koleganya berdiam di basecamp yang terdiri dari satu tenda besar untuk makan dan bekerja, tujuh tenda kecil untuk masing-masing peserta ekspedisi, dan dua tenda toilet.
“Kalau beruntung dapat tempat datar dengan alas pasir kasar hasil dari gerusan angin pada batuan. Karena tidak ada pilihan lain biasanya dapat alas batu-batu runcing dengan kondisi miring. Kalau sudah begitu, baru satu hari alas tenda dan matras sudah robek,” kata peraih gelar Master di Teknik Geologi Institut Teknologi Bandung itu di akun Facebook-nya.
Di basecamp, Iwan dan anggota tim lainnya mempersiapkan kakus khusus. Toilet ini sangat sederhana, mirip kotak tempat sampah dari bahan plastik. Semua peneliti buang air besar di jamban itu. Buangan hanya ditutupi kertas karton sehingga tidak terlihat pemakai berikutnya. Sempelah yang menumpuk di WC portabel itu dibawa ke Stasiun Syowa di Pulau Ongul, Antartika bagian timur. Feses para peneliti ini lantas dibakar. Stasiun Syowa didirikan tim ekspedisi Jepang yang pertama atau Japan Antartic Research Expedition (JARE) I pada 1957. Syowa adalah penanda awal mula program penelitian musim dingin di Antartika.
“Telah banyak hasil penelitian yang dihasilkan dari Stasiun Syowa. Beberapa yang signifikan adalah penemuan lubang ozon di atas Antartika pada Oktober 1982,” ujar pria 34 tahun peraih gelar PhD dari Kyushu University, Jepang, pada 2013 itu.