SUKOHARJO -- Pelaksanaan Ujian Nasional (UN) yang amburadul dinilai karena pemerintah tidak demokrasi dan tidak percaya pada kemajuan teknologi dalam proses ujian yang merupakan agenda tahunan di dunia pendidikan itu.
“Pemerintah tidak percaya jika soal UN digandakan di daerah, padahal sekarang ada teleprinting sudah canggih, ini kan berarti antiteknologi dan antidemokrasi, karena ada ketidak percayaan pada tingkat bawah gara-garanya tidak mampu pada distribusi,” papar Ketua Umum PP Muhammadiyah Prof Din Syamsudin seusai meresmikan Gedung Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) di Gonilan, Sukoharjo, Sabtu (4/5/2013).
Promosi Gaet Vidi Aldiano, BRI Edukasi Masyarakat Hindari Modus Penipuan Lewat Lagu
Karenanya, lanjut Din Syamsudin perlu dilakukan evaluasi harus dicari penyebabnya siapa yang bersalah dan itu harus diinvestigasi oleh tim independen, tidak cukup dari internal.
Evaluasi tersebut tambah Din, menyangkut kenapa UN tidak bisa seragam dan sentral dari pusat ke daerah. Karena kenyataannya antara Ibukota dengan di pelosok beda sekolah, gurunya, sarana dan prasarananya.
“Jadi UN tidak dibubarkan, tapi beri otoritas pada provinsi bersaing dari tingkat SD, SMP dengan standar hasil UN sehingga akan kelihatan hasilnya,” ujarnya.
Persoalannya sekarang, sambung Din, apakah pelaksanaan UN itu harus serentak dan seragam dari jenis soalnya yang hanya pilihan hitam putih, benar salah atau multiple choice sehingga ada kunci-kunci jawaban.
“Kenapa tidak sebaiknya jawabannya esai sehingga tidak bisa ada kunci jawaban beredar karena jawabannya tidak sama. Jadi persoalannya pada sistem. Evaluasi [UN] perlu untuk mengetahui tingkat pemahaman dan keberhasilan siswa,” jelasnya.