Esposin, JAKARTA -- Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menilai penanganan banjir di DKI Jakarta yang terjadi sejak 8 Februari 2015 hingga saat ini tidak secepat penanggulangan peristiwa serupa tahun sebelumnya.
Promosi Berbagai Program BRI untuk Mendukung Net Zero Emission di 2050
Menurut Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB, Sutopo Purwo Nugroho, setidaknya ada empat blunder yang dilakukan Gubernur DKI Jakarta sehingga penanganannya lambat. Pertama, kondisi drainase DKI Jakarta yang sudah tidak mampu menampung besarnya curah hujan tinggi. Perlu dilakukan sejumlah cara memperbaiki drainase dan tidak melulu soal pompa air.
"Kemampuan drainase di DKI Jakarta hanya mampu mengalirkan 50-60 mm air per hari, sementara hujan di Kemayoran mencapai 177 mm/hari, di Priok sampai 366 mm/hari. Otomatis banyak air terkonversi menjadi genangan," tuturnya.
Kedua, penggantian strukur pekerja/pegawai Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) DKI Jakarta tidak diisi oleh sejumlah orang yang kompeten. "Dari 4 kabid di BPBD, hanya seorang saja yang mengerti penanganan tanggap bencana. Padahal untuk mengisi pos ini harus orang yang spesifik dan paham mengenai penanggulangan bencana," tuturnya.
Ketiga, waktu penggantian pajabat di lingkungan Pemprov DKI Jakarta pada awal Januari 2015 dinilai tidak tepat, terutama untuk BPBD DKI Jakarta. Hal ini mengingat komitmen kegawatdaruratan yang sudah ditentukan sejak awal menjadi tidak bisa terlaksana, termasuk training-training yang telah dilakukan menjadi mubazir karena pejabatnya juga berubah.
"Kalau mau ganti, misalnya untuk BPBD ya jangan Januari-Februari, bisa Juni atau Juli. Kan kita sudah tahu bahwa potensi bencana banjir di DKI Jakarta terjadi Januari-Maret," ujarnya.
Keempat, kepala daerah, dalam hal ini Gubernur DKI Jakarta, tidak segera mengeluarkan status darurat bencana. Penetapan status ini memang sudah sesuai aturan perundang-undangan agar semua unsur bisa cepat bergerak melakukan penanganan di bawah komando BPBD (daerah) atau BNPB (nasional).
"Dengan pernyataan resmi itu, sehingga semua potensi nasional yang dikoordinasi BNPB yang melibatkan TNI, Polri, Kemenkes, dll, dan satuan kerja perangkat daerah [SKPD] lainnya bisa melakukan penanganan yang menyeluruh," ujarnya.
Apalagi, lanjutnya BPBD DKI Jakarta saat ini bisa dibilang belum ada anggaran karena APBD 2015 belum disahkan. "Dengan status darurat ini, pemerintah daerah bisa memanfaatkan dana 'on call' BNPB yang ada di Kemenkeu saat ini sekitar Rp2,5 triliun untuk penanganan, dengan syarat status darurat tersebut."
"Darurat di sini, maksudnya lebih pada dalam mekanisme manajemen bencana. Ini bukan seperti darurat militer atau menakutkan lainnya. Ini agar membantu kemudahan akses penanganannya," ujarnya.