Pemugaran atau revitalisasi selalu memunculkan perubahan yang secara fisik mudah dikenali, lebih rapi, lebih baru, dan tentu lebih indah secara visual. Revitalisasi juga selalu menyisakan kekhawatiran tentang pembatasan akses bagi publik.
Promosi Berbagai Program BRI untuk Mendukung Net Zero Emission di 2050
Ruang publik lain di Kota Solo seperti Taman Safari dan Taman Pracima setelah pemugaran total menjadi eksklusif. Wajar mengemuka kekhawatiran fenomena serupa pada Taman Balekambang.
Kebijakan tarif masuk untuk masyarakat umum senilai Rp5.000/orang membuka harapan bahwa kekhawatiran itu tidak terjadi. Harga tiket masuk wisatawan asing hanya Rp25.000/orang dan tiket pertunjukan Rp15.000/orang.
Harga tersebut ramah bagi kantong masyarakat semua lapisan di Soloraya. Pemerintah Kota Solo berencana melibatkan pihak ketiga untuk mengelola Taman Balekambang. Sebelum pihak ketiga itu ditentukan dan mengikat kerja sama dengan Pemerintah Kota Solo, pengelolaan Taman Balekambang ditangani sendiri oleh Pemerintah Kota Solo.
Wali Kota Solo Teguh Prakosa membuka kemungkinan pengelolaan Taman Balekambang diserahkan kepada badan layanan umum daerah (BLUD) yang akan dibentuk kemudian. Pembentukan BLUD menjadi alternatif apabila tidak ada pihak ketiga yang mau bekerja sama dengan Pemerintah Kota Solo mengelola Taman Balekambang.
Taman Balekambang dibangun oleh K.G.P.A.A. Mangkunagoro VII sebagai hadiah untuk dua putrinya, yitu G.R.Ay. Partinah dan G.R.Ay. Partini. Itulah sebabnya di taman kota ini terdapat Partini Tuin dan Partinah Bosch.
Seturut kekuasaan Praja Mangkunegaran surut, taman kota ini kemudian menjadi tempat wisata sekaligus ruang publik yang disukai masyarakat. Aspek kesejarahan harus menjadi napas dalam pengelolaan Taman Balekambang masa kini.
Bahwa ini adalah taman peninggalan zaman kejayaan Kadipaten Mangkunegaran. Dalam perkembangan sebelum dipugar total, Taman Balekambang memanifestasi menjadi ruang publik dan kantong seni budaya di Kota Solo yang berbasis kesenian dan kebudayaan Mangkunegaran.
Pelibatan badan usaha swasta maupun BLUD bisa membuat pengelolaan ruang publik menjadi lebih akuntabel, profesional, dan bisa menyumbang pendapatan asli daerah. Pelibatan pihak ketiga, khususnya swasta, juga bisa membuat pengelolaan ruang publik menjadi lebih komersial sehingga berpotensi mengabaikan nilai sosial dan budaya.
Mengelola ruang publik, apalagi peninggalan bernilai sejarah dan budaya, semestinya tidak hanya bertujuan komersial. Ada nilai-nilai yang harus dijaga. Siapa pun nanti otoritas pengelola dan bagaimana konsep pengelolaannya, hendaknya eksistensi Taman Balekambang sebagai ruang publik dan ruang terbuka hijau harus tetap diutamakan
Ruang publik yang mudah diakses publik, setidaknya bisa diakses siapa saja dengan murah, sebagai kantong seni budaya, dan sebagai situs sejarah. Jangan sampai Taman Balekambang berubah menjadi kawasan komersial elite yang hanya bisa diakses kaum berduit banyak.