Karakteristik masyarakatnya pun tak jauh berbeda dengan wilayah lain di Wonogiri. Mayoritas penduduknya bermata pencaharian sebagai petani, buruh dan pedagang. Di balik kondisi sosial ekonomi masyarakat itu, Desa Kepatihan mempunyai sisi sejarah yang cukup menarik. Nama desa tersebut berasal dari seorang patih Kerajaan Mataram yang bernama Sumo Wiguno. Dia meninggalkan Kerajaan Mataram untuk berkelana mencari daerah yang subur. Patih Sumo Wiguno berkelana bersama istri dan dayang, sebutan pembantu pada zaman dahulu. Patih dan keluarganya memilih menetap di sekitar Desa Kepatihan lantaran kondisi tanahnya cukup subur. Dia langsung menjadi tokoh masyarakat (toma) karena mempunyai kesaktian.
Promosi Didukung BRI, Usaha Pisang Sale Mades di Parigi Sulteng Makin Berkembang
"Pada zaman dahulu, parameternya bukan harta benda melainkan kesaktian. Jika orang mempunyai kesaktian tinggi maka akan dihormati dan menjadi panutan masyarakat,” kata sesepuh Desa Kepatihan, Sukirno saat ditemui Espos.id Jumat (19/9/2014). Beberapa tahun kemudian, seorang kiai bernama Dungsono mendatangi Desa Kepatihan. Dia juga memilih menetap di wilayah tersebut lantaran kondisi tanahnya sangat subur. Kiai Dungsono juga mempunyai kesaktian yang ampuh sehingga dihormati warga setempat. Patih Sumo Wiguno dan Kiai Dungsono bertemu untuk mengadu kesaktian. Mereka sepakat bertanding mengambil buah kelapa sebanyak-banyak pada satu pohon kelapa. Namun, buah kelapa itu harus mulus, tak boleh ada lecet-lecet sedikitpun.
“Baik patih [Sumo Wiguno] dan kiai [Dungsono] sama-sama mempunyai kesaktian. Mereka bertanding untuk menentukan siapa yang paling sakti,” papar dia. Kiai Dungsono mendapat kesempatan kali pertama mengambil buah kelapa. Dia langsung memegang batang pohon kelapa dan menggoncang-goncangkannya.
Sontak, belasan buah kelapa terjatuh ke tanah. Kendati banyak, namun sebagian buah kelapa itu lecet-lecet lantaran terantuk tanah. Giliran Patih Sumo Wiguno mengambil buah kelapa. Dia mengarahkan tangannya ke batang pohon kelapa. Sontak, batang pohon kelapa melengkung nyaris menyentuh tanah.
Dengan cepat, patih memetik buah kelapa dari tangkainya. “Buah kelapa dipetik dari tangkainya satu persatu. Tak ada yang lecet karena batang pohon kelapa melengkung nyaris menyentuh tanah,” terang dia. Setelah meninggal, Patih Sumo Wiguno dan keluarganya dimakamkan di desa tersebut. Dia dimakamkan bersama istri dan pembantunya tak jauh dari Lapangan Desa Kepatihan.
Menariknya, hingga sekarang, muncul tradisi keturunan Patih Sumo Wiguno dilarang menikah dengan keturunan Kiai Dungsono. Warga setempat percaya apabila tradisi itu dilanggar akan menimbulkan malapetaka bagi daerah tersebut.