Maklumlah, satu-satunya penumpang bus yang masih setia hingga saat ini tinggalah siswi-siswi sekolah. Soal penumpang umum, jangan ditanya lagi. Mereka kalah bersaing dengan si kuda besi sepeda motor yang jauh lebih lincah dan memenuhi jalan raya. “Sehari nggak dapat penumpang, sudah terbiasa itu. Pokoknya, nyari penumpang sekarang itu berat,” keluh warga yang mengaku asli Delanggu Klaten itu.
Promosi Agen BRILink Mariyati, Pahlawan Inklusi Keuangan dari Pulau Lae-lae Makassar
Pardi barangkali adalah potret sopir bus tua yang kerap meringis tak dapat penumpang. Di dalam bus yang nampak hanyalah seorang penumpang setengah baya tak henti menahan gerah. Lantaran usia bus yang tua pula, setiap penjuru mata hanya menyaksikan rangkaian besi berkarat, kursi reot, jendela rusak, serta getaran mesin bercambur aroma tak sedap. “Kalau panas sih, ya memang panas. Tapi, gimana lagi. Memang beginilah kondisinya,” akunya.
Jauh hari, Pardi mengaku pernah meminta kepada bosnya agar bus-busnya itu diperbaiki atau sekadar ditambal dinding catnya yang mengelupas. Namun, lantaran pendapatan bus yang jauh lebih kecil ketimbang biaya operasional, maka usulannya pun hanya masuk telinga kanan keluar kiri. “Baru ada BST (Batik Solo Trans-red) saja, penumpang kami langsung anjlok kok,” paparnya.
Lantaran sepinya penumpang inilah, tak jarang sopir bus hanya menarik pada pagi hari dan sore hari, alias hanya pada saat jam berangkat dan pu;lang sekolah. Di sela-sela waktu itu, sopir lebih memilih tidur di rumah dan mengandangkan busnya. “Kalau nggak gitu, malah rugi. Buat apa buang-buang BBM, kalau nggak ada penumpang,” papar Ketua DPC Organisasi Pengusaha Angkutan Darat (Organda) Solo, Joko Suprapto.
JIBI/SOLOPOS/Aries Susanto