Esposin, SOLO – Sistem peradilan pidana di Indonesia dinilai belum berpihak kepada anak pelaku kejahatan atau anak berhadapan hukum (ABH).
Promosi Dukung Perkembangan Industri Kreatif, BRI Gelar Kompetisi Creator Fest 2024
Produk hukum pidana yang ada saat ini dinilai tak berakar dari struktur sosial masyarakat yang ada.
Demikian diungkapkan mahasiswa program pascasarjana Universitas Sebelas Maret (UNS) Prodi Hukum Bunadi Hidayat dalam disertasinya berjudul Kebijakan Yudisial Hakim dalam Penanggulangan Kenakalan Anak, Kamis (19/5/2016).
Dosen Universitas Sunan Giri Sidoarjo itu mengatakan produk hukum pidana tentang anak-anak hanya mengatur tentang korban kejahatan pidana. Sementara, pelaku kejahatan dari kalangan anak-anak nyaris belum mendapatkan perlakuan hukum secara adil.
“Rata-rata, anak yang terjerat kasus pidana dijebloskkan ke penjara. Parahnya lagi, banyak penjara yang mencampur adukkan antara napi dewasa dengan napi anak-anak,” paparnya saat ditemui espos.id selepas menjalani ujian disertasinya di Kampus UNS.
Bunadi tak menyebut angka secara persis berapa persen anak-anak yang terjerat kasus pidana lalu dijebloskan ke penjara. Namun, mengutip data yang dilansir peneliti Nur Rochati 2007 silam, kata dia, sedikitnya 90% anak-anak yang berhadapan hukum berujung di penjara.
“Ada 5.000-an ABH se-Indonesia setiap tahunnya. Dari jumlah itu, 90% berujung penjara. padahal, kasus-kasusnya rata-rata pencurian ringan,” paparnya.
Alasan pemenjaraan itu, kata Bunadi, para hakim lebih sering menggunakan kebijakan yudisial dan diskresi, ketimbang pertimbangan sosiologis. Padahal, kata dia, tak sedikit struktur masyarakat di Indonesia yang mengalami patologi sosial.
“Banyak pula majelis hakim yang mengabaikan penelitian masyarakat [litmas] dari Bapas [Balai Pemasyarakatan],” paparnya.