Esposin, JAKARTA--Sebanyak 13 perikat pekerja menggugat Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan DPR terkait Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Cipta Kerja. Gugatan itu didaftarkan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta.
Berdasarkan penelusuran di Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) PTUN Jakarta, gugatan tersebut didaftarkan kemarin, Rabu (1/2/2023). Gugatan teregister dengan nomor 30/G/TF/2023/PTUN.JKT.
Promosi Jaga Lingkungan Event MotoGP Mandalika, BRI Peduli Berhasil Kelola 22 Ton Sampah
Serikat pekerja meminta agar majelis hakim mengabulkan gugatan untuk seluruhnya dan menyatakan tindakan administrasi pemerintahan yang bersifat negatif (pasif/omission) berupa tidak melaksanakan (absen) amar putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2021 lalu yang menyatakan UU No. 11/2020 tentang Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat.
"Menyatakan tindakan administrasi pemerintahan [tergugat] yang bersifat negatif [pasif/omission] berupa tidak melaksanakan [absen] amar putusan Mahkamah Konstitusi No. 91/PUU-XVIII/2020 tentang Pengujian Formil UU No. 11/2020 tentang Cipta Kerja berupa perintah untuk melakukan perbaikan atas UU Cipta Kerja merupakan perbuatan melawan hukum oleh pemerintah [onrechmatige overheidsdaad]," demikian dikutip Bisnis.com, Kamis (2/2/2023).
Melalui gugatan PTUN tersebut, para serikat pekerja memerintahkan Presiden dan parlemen melaksanakan amar putusan MK tersebut tentang pengujian formil UU No.11/2020 tentangt Cipta Kerja, yakni berupa perintah untuk melakukan perbaikan.
Penggugat juga meminta tergugat membayar biaya perkara. Biaya perkara meliputi panjar biaya perkata sebesar Rp837.000, biaya pendaftaran/PNBP Rp155.000, dan biaya pemberkasan/ATK Rp682.000.
"Atau apabila Yang Mulai majelis hakim memiliki pendapat lain, kami mohon putusan yang seadil-adilnya [ex aequo et bono]," demikian isi gugatan.
Sebanyak 13 serikat pekerja selaku penggugat tersebut terdiri atas Federasi Kesatuan Serikat Pekerja Nasional, Federasi Serikat Pekerja Logam, Elektronik dan Mesin, Federasi Serikat Pekerja Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Federasi Serikat Pekerja Listrik Tanah Air (Pelita) Mandiri Kalimantan Barat, Federasi Serikat Pekerja Pertanian dan Perkebunan, serta Federasi Serikat Pekerja Rakyat Indonesia.
Kemudian, Gabungan Serikat Buruh Indonesia, Konfederasi Buruh Merdeka Indonesia, Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia, Persaudaraan Pekerja Muslim Indonesia, Serikat Buruh Sejahtera Independen 92, Federasi Serikat Pekerja Kependidikan Seluruh Indonesia, serta Federasi Serikat Pekerja Farmasi dan Kesehatan.
Sebelumnya, pemerintah menerbitkan Perppu No. 2/2022 tentang Cipta Kerja pada 30 Desember 2022. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, pada konferensi pers, mengatakan penerbitan beleid itu bersifat mendesak lantaran perekonomian Indonesia membutuhkan persiapan dalam menghadapi ancaman resesi global dan ketidakpastian yang tinggi.
Tidak hanya itu, pemerintah mempunyai kewajiban untuk mengembalikan defisit APBN di bawah 3% sebagai normalisasi kebijakan pascapandemi, serta memenuhi target investasi jumbo sebesar Rp1.400 triliun pada 2023.
"Pertimbangannya adalah kebutuhan mendesak, pemerintah perlu mempercepat antisipasi terhadap kondisi global baik yang terkait ekonomi, kita menghadapi resesi global, peningkatan inflasi, kemudian ancaman stagflasi," kata Airlangga, Jumat(30/12/2022).
Pada November 2021, MK memutuskan pembentukan UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat atau sepanjang tidak diperbaiki oleh pembentuk UU. Regulasi itu tetap berlaku sampai dengan tenggat waktu revisi yakni dua tahun sejak putusan yaitu 25 November 2023.
Apabila sampai dengan waktu tersebut UU baru tidak dibuat, maka omnibus law tersebut menjadi tidak berlaku atau menjadi inkonstitusional sepenuhnya. Kendati demikian, 11 bulan sebelum tenggat waktu revisi itu, Presiden Joko Widodo memutuskan untuk menerbitkan Perppu di tengah kondisi ekonomi yang dinilai penuh ketidakpastian.
Kudeta Konstitusi
Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud Md menanggapi tudingan yang menyebut penerbitan Perppu No. 2/2022 tentang Cipta Kerja (Ciptaker) sebagai bentuk kudeta konstitusi.
Dia menyebut banyak orang tak paham putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai MK No. 91/PUU-XVIII/2020 mengenai judicial review UU No. 11/2020 tentang Cipta Kerja.
"Gini, banyak yang pertama tidak paham putusan MK itu seperti apa. Yang kedua belum baca isinya sudah berkomentar, sehingga saya persilakan saja kalau mau terus didiskusikan, diskusikan saja, tetapi pemerintah menyatakan putusan MK itu mengatakan Undang-undang Ciptaker itu dinyatakan inkonstitusional bersyarat," kata Mahfud di lingkungan Istana Kepresidenan, Jakarta pada Selasa (3/1/2023).
Pada 25 Juni 2021, MK memutus pembentukan UU Cipta Kerja bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat (inkonstitusional) secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai "tidak dilakukan perbaikan dalam waktu dua tahun sejak putusan diucapkan".
"Maksud bersyaratnya apa? Berlaku dulu, tetapi selama dua tahun diperbaiki. Diperbaiki berdasar apa? Berdasar hukum acara di mana di situ harus ada cantelan bahwa omnibus law itu masuk di dalam tata hukum kita," ungkap Mahfud.
Pemerintah, menurut dia, telah menerbitkan UU No. 13/2022 perubahan kedua atas UU No. 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan pada 16 Juni 2022. Regulasi itu mengatur soal pembentukan peraturan perundang-undangan menggunakan metode omnibus.
"Maka kita perbaiki Undang-undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan di mana di situ disebut bahwa omnibus law itu bagian dari proses pembentukan undang-undang. Nah sesudah itu diselesaikan, Undang-undang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan itu sudah diubah dijadikan undang-undang dan diuji ke MK sudah sah. Lalu, Perppu dibuat berdasar itu, sedangkan materi nya [UU Ciptaker] tidak pernah dibatalkan oleh MK," tutur Mahfud.
Dengan sudah terbitnya peraturan mengenai pembentukan undang-undang menggunakan metode omnibus maka pemerintah, kata Mahfud, tinggal menerbitkan perppu.
"Kita perbaiki dengan perppu, karena perbaikan dengan perppu sama derajatnya dengan perbaikan melalui undang-undang. Jadi begitu di dalam tata hukum kita," ujar Mahfud.
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menyebut penerbitan Perppu sebagai bentuk pembangkangan dan kudeta terhadap konstitusi Indonesia serta gejala yang menunjukkan otoritarianisme pemerintahan Jokowi.
“Presiden justru menunjukkan kekuasaan ada di tangannya sendiri, tidak memerlukan pembahasan di DPR, tidak perlu mendengarkan dan memberikan kesempatan publik berpartisipasi. Hal ini jelas bagian dari pengkhianatan konstitusi dan melawan prinsip-prinsip negara hukum yang demokratis,” ucap Ketua Umum YLBHI Muhamad Isnur dikutip Minggu.
Daripada menerbitkan Perppu Cipta Kerja, Jokowi seharusnya menerbitkan Perppu Pembatalan UU Cipta Kerja sesaat setelah UU Cipta Kerja disahkan, karena penolakan yang massif dari seluruh elemen masyarakat.
Namun, lanjut dia, Jokowi justru meminta masyarakat yang menolak UU Cipta Kerja melakukan judicial review. Saat Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan UU Cipta Kerja inkonstitusional, Presiden justru mengakalinya dengan menerbitkan Perppu.
“Perintah MK jelas bahwa pemerintah harus memperbaiki UU Cipta Kerja, bukan menerbitkan Perppu,” ujarnya.
- Perppu Cipta Kerja Disorot, Faisal Basri Pertanyakan Dilanjutkannya IKN
- Perppu Cipta Kerja Dianggap Bentuk Kudeta Konstitusi, Jokowi Tanggapi Santai
- Mahfud Md: Penerbitan Perppu Cipta Kerja Hak Subjektif Presiden